Posted on / by / in Opini

Meluruskan Cara Pandang KPK

Sejak akhir Agustus tahun ini, KPK telah mengunjungi tujuh partai politik, yakni PDI Perjuangan, Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Hanura, Partai Demokrat, dan Partai NasDem. Kunjungan tersebut dilakukan KPK untuk menawarkan sebuah rumusan tentang sistem integritas parpol yang secara singkat termaktub dalam frasa ‘politik cerdas dan berintegritas’. Pada rumusan yang dibuahkan sebagai hasil kerja samanya dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, KPK mengembangkan empat poin utama dalam melihat integritas sebuah partai politik.

Keempat poin tersebut ialah adanya standar etik, sistem rekrutmen yang jelas dan terukur, sistem kaderisasi yang berjenjang, dan tata kelola keuangan. Standar etik bertujuan membangun kader-kader partai yang berintegritas sekaligus mendorong sistem integritas di internal partai. Sistem kaderisasi berisi indikator-indikator seperti panduan kaderisasi, regulasi internal, implementasi sistem kaderisasi yang inklusif dan berjenjang, adanya sistem monitoring, dan seterusnya. Adapun terkait dengan sistem rekrutmen, sistem integritas yang ditawarkan KPK memuat beberapa indikator, seperti adanya panduan rekrutmen politik yang berbasis kaderisasi yang inklusif.

Tata kelola keuangan berisi indikator-indikator seperti adanya sistem keuangan dan akuntasi yang akurat, sistem dan database iuran anggota, serta standar pelaporan keuangan. Gambaran di atas memang setali tiga uang dengan opini umum publik terhadap partai politik. Apalagi jika melihat hasil survei berbagai lembaga terhadap kinerja parpol yang memburuk, rumusan KPK tersebut seolah menjadi relevan adanya. Meski demikian, ada beberapa catatan atas poin-poin tersebut.

Tidak kompatibel
Dua hal elementer yang KPK dan LIPI lupa dalam konteks tersebut di atas ialah, pertama, tentang semesta sistem demokrasi liberal yang kita pakai saat ini. Dalam rumusan itu, KPK dan LIPI seolah-olah menarik bandul demokrasi kembali ke dalam tampilan yang aristokratik. Padahal, seorang Jokowi dan JK pun sama sekali tidak pernah menjadi birokrat. Belum lagi jika kita lihat contoh lain seperti Lula Da Silva di Brasil, Barrack Obama dan Donald Trump di Amerika Serikat, atau Rodrigo Duterte di Filipina. Indikator itu sama sekali tidak relevan bagi integritas sebuah partai politik.

Terkait dengan sistem rekrutmen dan kaderisasi, sistem integritas partai politik yang ditawarkan KPK dan LIPI mengingkari alur kerja demokrasi yang berbasis popular vote. Jika demikian, sistem yang ditawarkan sudah pasti tidak akan kompatibel. KPK dan LIPI seolah rindu dengan masa Orde Baru saat kekuasaan ditopang ‘ABG (ABRI, birokrasi, dan Golkar).

Akhirnya, sistem rekrutmen dan kaderisasi parpol sekarang dibayangkan mesti berjenjang. Padahal sistem semacam itu hanya kompatibel dengan sistem politik otoritarian atau totalitarian. Seperti di Tiongkok, yang pejabat negara atau pimpinan partainya harus mengikuti jenjang sekolah kader yang sudah ditetapkan. Sementara itu di alam demokrasi liberal, sistem politiknya terbuka bagi siapa saja yang memiliki kemauan dan kemampuan dalam berkontestasi.

Presiden Jokowi ialah seorang pengusaha mebel yang tidak punya riwayat sebagai pengurus teras partai, tapi bisa menjadi wali kota, gubernur, dan sekarang presiden.
Untuk poin komisi etik, etik sendiri adalah moral praksis. Setiap partai memiliki sumber nilai utama yang bernama ideologi. Sebagai moral praksis, etika tentu menjadi sesuatu yang derivatif dari ideologi tiap partai. Tidak ada yang bisa digeneralisasikan dalam hal ini. Oleh karena itu, hal yang semestinya dibangun KPK ialah moral forces atau biasa disebut virtue.

Virtue adalah keutamaan sikap atau kebajikan yang nilainya universal. Ia bisa berlaku lintas partai, golongan, dan bahkan keyakinan. Sikap antikorupsi, antidiskriminasi, fair play atau tidak curang, selalu mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan golongan, itulah virtue bagi politisi, partai, dan pejabat publik mana pun. Terkait dengan tata kelola keuangan, banyak pihak yang berpikiran, partai yang ideal ialah yang para anggotanya melakukan iuran. Padahal, iuran hanyalah salah satu jenis mekanisme pendanaan parpol.

Ada dua prinsip pendanaan dalam manajemen partai politik. Pertama, partai didanai sepenuhnya oleh negara. Alasannya, partai ialah instrumen yang menjaring, menyeleksi, dan mempromosikan calon-calon pejabat negara. Untuk memenuhi standar kompetensi tertentu, negara memfasilitasi kebutuhan tersebut. Dalam hal ini, Amerika Serikat ialah contohnya. Kedua, iuran atau kontribusi anggota atau kelompok kepentingan. Manifestasinya lebih dekat dengan politik representasi sebagai konsekuensi logis perjuangan untuk memenangi kepentingan. Misalnya Partai Buruh di Eropa.

Ia didanai dari iuran serikat buruh yang langsung dipotong dari gaji mereka. Namun, untuk partai konservatifnya, ia didanai kalangan pengusaha atau kaum aristokrat yang membentuk partai tersebut. Jadi, kedua ranah pembiayaan partai politik tersebut bisa dipakai di alam demokrasi. Oleh karena itu, yang semestinya dibangun KPK ialah instrumen transparansi dan akuntabilitas belanja kampanye dalam kontestasi.

Di sinilah hulu pencegahan tindak pidana korupsi sekaligus awal mula pembangunan integritas partai, politisi, dan pejabat negara. Sejauh ini, dalam hal instrumen akuntabilitas dan transparansi, KPK baru bisa menggunakan Laporan Hasil Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) dalam upaya membangun sistem integritas partai politik. Sementara itu, KPK mengeluhkan bahwa 80% anggota DPRD tidak menyerahkan LHKPN mereka. Padahal di dalam UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, anggota DPRD bukanlah pejabat negara.

Salah positioning
Hal elementer kedua, KPK keliru menempatkan diri, terutama terhadap partai politik. Sebagaimana halnya KPK, partai-partai yang ada sekarang ialah juga produk reformasi. Dua entitas itu memiliki domain masing-masing. Penegakan hukum, khususnya perang melawan korupsi, bukanlah agenda baru dalam demokrasi. Semangat Reformasi 1998 sebagai titik pijak demokrasi Indonesia saat itu memiliki tema sentral tentang anti-KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Oleh karena itu, yang harus KPK kembangkan ialah semangat sinergi, bukan ‘mendikte’.

Instrumen-instrumen yang ada dalam sistem integritas produk KPK dan LIPI cenderung menggurui parpol. Sistem rekrutmen, kaderisasi, komisi etik, biarlah itu jadi domain tiap-tiap partai dengan ideologi dan kekhasan masing-masing. Toh, demokrasi dan hukum ialah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Hukum akan selalu menjadi batas bagi praktik demokrasi yang berlangsung. Terakhir, politik itu berbasis pada representasi kelompok kepentingan. KPK dan LIPI terjebak pada demokrasi Athenian jika kecerdasan menjadi patokan.

Demokrasi semacam itu hanya memperbolehkan mereka kaum filsuf dan aristokrat untuk berpolitik. Dalam iklim demokrasi populer seperti saat ini, orang biasa seperti Jokowi, Ridwan Kamil, Nurdin Basyirun, dan sebagainya pasti tidak akan mendapatkan tempat. Alih-alih cerdas, politik lebih membutuhkan orang yang berpihak. Ia harus menjadi aktor yang membela kepentingan kelompok yang diwakilinya. Politik bukan berarti seseorang harus berpendidikan tinggi karena ia lahir dari rahim pergulatan kepentingan yang diwakilinya. Karenanya, instrumen model skolastik dengan pendekatan sekolah kader atau sekolah legislatif seperti yang dibayangkan KPK tidak cukup melahirkan politisi dan pejabat negara berintegritas.

Tulisan ini dimuat di Media Indonesia, 26 September 2017.

Tinggalkan Balasan