Posted on / by Willy Aditya / in Opini

Mengembalikan Humanisme Pendidikan Kedokteran

Beberapa minggu lalu, seorang kerabat lolos seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN). Dia dinyatakan lulus dan diterima di fakultas kedokteran. Ada kebanggaan di satu sisi, tetapi terjadi kegalauan di sisi yang lain. Kebanggaan lahir karena sang kerabat mampu ‘menaklukkan’ fakultas paling bergengsi dalam dunia perguruan tinggi. Sementara itu, rasa galau muncul karena soal biaya segera membuat keluarga kerabat berpikir tujuh keliling.

Sudah menjadi pengetahuan umum jika pendidikan kedokteran berbiaya mahal. Kesiapan peserta didik diukur bukan hanya dari segi kapasitas intelektual, tetapi juga ‘modal’ besar. Sialnya, bahkan setelah selesai pun seseorang yang dinyatakan lulus tidak bisa langsung disebut sebagai ‘ahli’. Perlu proses dan dana lanjutan agar seorang lulusan pendidikan kedokteran dapat menjalankan profesinya.

Banyak kalangan akhirnya menilai wajar jika praktik seorang dokter akhirnya dinilai begitu eksklusif dan berbiaya tinggi. Demikian pula terhadap rumah sakit yang seakan terjerumus dalam logika bisnis sebagaimana lazimnya. Meski masih kita temui fenomena semacam Dr Lie Dharmawan yang menyajikan kesehatan berbiaya murah (bahkan gratis), keumuman menyampaikan kepada kita tentang relasi yang kuat antara profesi dokter dan logika ongkos yang mahal.

Kritik atas pendidikan kedokteran

UU Pendidikan Kedokteran Nomor 20 Tahun 2013 ternyata memang memberi legitimasi atas formal dan panjangnya masa pendidikan hingga legalitas profesi seorang dokter. Sejumlah aturan yang dikandungnya menunjukkan panjangnya birokrasi yang berbanding lurus dengan tingginya biaya yang harus dikeluarkan. Secara kuantitatif, ribuan calon dokter akhirnya tidak dapat menjalankan profesinya akibat terjegal syarat legal formal yang diminta. Secara kualitatif, ke mana arah pendidikan kedokteran Indonesia sebenarnya, telah menjadi pertanyaan besar bagi bangsa ini.

Alan Bleakley (2015), seorang dokter sekaligus profesor Pendidikan Kedokteran dan Kedokteran Humanis, mengatakan bahwa tradisi pedagogis pendidikan kedokteran berperan penting dalam menciptakan dokter di masa depan yang bertanggung jawab atas gagalnya demokratisasi dunia medis. Hilangnya sensitivitas, sensibilitas, dan akhirnya empati dalam praktik medis hasil pendidikan kedokteran menjadi titik kritis yang menurutnya harus kembali dihidupkan melalui mekanisme institusionalisasi lembaga pendidikan kedokteran.

Apa yang disampaikan Bleakley juga pernah disampaikan jauh hari oleh William Osler (1849-1919), seorang profesor di John Hopkins Hospital yang memperkenalkan program residensi dalam kurikulum pendidikan kedokteran yang digunakan sampai saat ini. Osler membayangkan dunia medis sebagai dunia dengan humanisme yang mendalam, yakni praktik medis ialah sebuah seni, bukan perdagangan. Dunia medis ialah sebuah panggilan, yakni hati dan kepala kita diuji secara setara.

Tradisi kedokteran humanis, menurut Bleakley, kini telah menggeser praktik medis lama di mana semuanya berpusat pada hierarki otoritas yang berada di tangan dokter. Kedokteran humanis menekankan perhatiannya kepada pasien dan kesalinghubungan internal profesi di dalam proses klinis.

Langkah demikian ini disadari Bleakley sebagai tantangan yang bersifat politis. Dia menegaskan kedokteran humanis yang disebutnya ialah dokter untuk keadilan sosial, yang memperlakukan pasien sebagai manusia utuh yang memiliki hak kemanusian dan kewarganegaraan. Lebih jauh, kedokteran humanis mengarahkan tujuannya demi mengatasi ketimpangan kesehatan dan menyiapkan akses layanan kesehatan secara setara.

Community oriented

Dalam perkembangannya, dunia medis internasional saat ini tengah berlomba mengoneksikan antara pendidikan kedokteran dan situasi kemasyarakatan. Rachel Ellaway dkk dari Ontario School of Medicine, Canada, mengatakan pendidikan kedokteran yang berikatan dengan masyarakat (community engaged) kini banyak dipraktikkan banyak negara di dunia. Hal ini diyakini dapat menghasilkan kualitas dan keterikatan yang lebih baik bagi program pendidikan kedokteran serta meningkatkan akuntabilitas sosial lembaga pendidikan terkait. Konsep keterikatan yang demikian ini merupakan pengembangan dari konsep sebelumnya dalam balutan terminologi ‘berorientasi kemasyarakatan’.

Strasser (2010) mendefinisikan ‘orientasi kemasyarakatan’ (community oriented) sebagai upaya mengarahkan kurikulum pendidikan kedokteran ke dalam topik-topik kesehatan masyarakat. Dia mendefinisikan, ‘berbasis kemasyarakatan’ sebagai setting situasi masyarakat dalam kurikulum pendidikan kedokteran, tetapi tidak secara langsung mengikatkan diri untuk mendesain dan menyelenggarakan kurikulumnya di dalam internal masyarakat. Sementara itu, ‘keterikatan kemasyarakatan’ (community engaged) didefinisikan sebagai keterikatan erat pendidikan kedokteran secara langsung dengan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekaligus meningkatkan pengalaman peserta didik.

Pembelajaran tentang endemi di dalam pendidikan kedokteran di berbagai negara menjadi kontekstual dalam pembahasan ini. Mempelajari isu endemi penyakit dalam situasi yang berikatan langsung dengan masyarakat tentu akan menghasilkan hal yang berbeda dengan hanya mempelajarinya dari masyarakat (community based) ataupun belajar untuk masyarakat (community oriented). Hal inilah yang kita bisa lihat dari kurikulum pendidikan kedokteran Kuba (Suarez, Sacacas dkk, 2008), dan kini telah menjadi isu penting di berbagai negara, seperti Jepang, Australia, dan Kanada.

Arah pendidikan kedokteran kita

Pandemi covid-19 dengan gamblang menyampaikan begitu besarnya kelemahan kita sebagai bangsa dalam mempersiapkan sumber daya kesehatan. Kita menyaksikan pemusatan sumber daya kesehatan yang begitu timpang seiring ketimpangan ekonomi yang terjadi antardaerah.

Saat ini, ada 89 fakultas kedokteran yang tersebar di 38 PTN dan 51 PTS. Sayangnya, dari angka itu kita masih menghadapi masalah persebaran dokter di Tanah Air. UU No 20 Tahun 2013 dalam kenyataannya belum mampu menjawab masalah tersebut. Ia bahkan disebut telah melahirkan sejumlah persoalan baru hingga ada kebutuhan mendesak untuk merevisinya. Namun, yang tidak kalah pentingnya adalah rumusan arah pendidikan kedokteran kita.

Mungkin masih terlalu jauh untuk menerapkan kurikulum pendidikan kedokteran yang menganut community-engaged medical education. Namun, setidaknya kita bisa mulai berkomitmen untuk mengembalikan spirit humanisme dalam pendidikan kedokteran kita. Spirit yang menempatkan kemanusiaan sebagai yang utama dalam dunia medis dan kesehatan nasional kita. Itu bisa dimulai dalam rumusan UU Pendidikan Kedokteran.

Sejumlah masalah sudah diindentifikasi dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Pendidikan Kedokteran yang kini berada di tangan Badan Legislasi DPR RI. Sejumlah usulan dan pemikiran yang beraras pada semangat kemanusiaan telah dirumuskan. Mulai rasio dokter dengan penduduk, program-program afirmasi, hingga demokratisasi pendidikan kedokteran nasional.

Inilah yang menjadi tantangan dalam upaya merevisi UU Pendidikan Kedokteran kita. Tantangan yang tentunya tidak sekadar mengubah pasal-pasal semata, tetapi upaya membangun kesepahaman bersama akan pentingnya merestorasi Pancasila sebagai jiwa dalam pendidikan kedokteran kita.

Konstitusi mengamanatkan kepada pemegang kebijakan untuk memajukan kesejahteraan umum. Dalam pemaknaannya yang umum, kesejahteraan merujuk pada keadaan yang baik, kondisi manusia yang orang-orangnya dalam keadaan makmur, dalam keadaan sehat dan damai. Dalam kerangka inilah revisi UU Pendidikan Kedokteran dilaksanakan guna menjawab tantangan konstitusi dan semangat zamannya.

Tulisan ini dimuat di Media Indonesia 22 mei 2021

Tinggalkan Balasan