Pembuatan Kebijakan di DPR Harus Utamakan ‘Scientific Base’
Wakil Ketua Badal Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya mengatakan, DPR RI dalam proses pembuatan dan penyusunan sebuah rancangan undang-undang harus menggunakan pendekatan yang lebih maju. Tidak hanya political will dan good will, penyusunan undang-undang ke depan harus berbasiskan scientific approach (pendekatan ilmiah).
Hal ini disampaikan Willy saat menghadiri Penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Badan Keahlian Setjen DPR RI dengan Universitas Syah Kuala banda Aceh, di Ruang Balai Senat, Universitas Syiah Kuala, Aceh, Senin (5/4/2021).
“Kan sekarang ada atas nama aspirasi, atas nama kebutuhan, itu penting. Ya! Tapi lebih penting dari itu adalah scientific base. Kenapa? Karena dia bisa melihat secara obyektif dan secara proyektif. Itu yg kita butuhkan untuk pembangunan kebijakan-kebijakan kita. DPR ke depan tentu harus scientific base berbasiskan riset,” ungkap Willy.
Politisi Fraksi Partai NasDem ini mengakui, dirinya di Baleg DPR RI sedang mengupayakan penggunaan riset-riset dari penyusunan RUU ataupun revisi UU. Dengan harapan, tidak direvisi dalam waktu yang sangat dekat. Untuk itu, masukan-masukan dalam penyusunan undang-undang tidak cukup hanya dari kunjungan kerja, RDPU, ataupun dari aspirasi lainnya.
“Kalau bisa UU ini tidak hanya sebentar. Contohnya UU tentang Pedidikan Kedokteran ini, disahkan tahun 2013, dan kini tahun 2021 akan direvisi. Delapan tahun cuma umurnya. Untuk apa direvisi? Seperti yang lainnya, revisi paling sebatas satu pasal atau satu ayat, itu enggak masalah. Tapi kalau kita mau rombak total, itu harus menjadi evaluasi di kita. Jangan ketika undang-undang ini masih baru, lalu minta direvisi,” urai Willy.
Terkait kerja sama antara Badan Keahlian Setjen DPR RI dengan Universitas Syah Kuala Banda Aceh, Willy menilai ini adalah langkah penting bagi kedua belah pihak. Tidak hanya bagi DPR RI saja, namun juga bagi pihak kampus.
“Kalau biasanya link and match itu antara kampus dan dunia industri. Kini, kita harus bangun kampus dengan kebijakan-kebijakan yang strategis baik itu dari pemerintah maupun DPR RI. Itu yang harus kita letakkan link and match-nya. Sehingga apa yang menjadi produk kampus atau apa yang akan menjadi produk DPR, didialogkan dan saling support satu sama lain,” terangnya.
Dengan begitu, sambungnya, praktik-praktik yang empirisisme dapat dihindari. “Empirisisme itu kasarnya katak dalam tempurung. Jadi perlu ada dialektika dalam penyusunan RUU. Karena cita-cita kita berbangsa dan bernegara ini kan panjang. Kita ingin daya tahan undang-undang kita ini cukup lama. Koreksi-koreksi (revisi) sebaiknya bukan pada hal yang fundamental,” pungkas Willy.
Sumber : dpr.go.id