Posted on / by Willy Aditya / in Berita

RUU Perlindungan PRT Wujud Negara Hadir bagi Wong Cilik

Pekerjaan kerumahtanggaan yang dilakukan para pekerja rumah sudah saatnya mendapatkan pengakuan dari negara. Sebagai penopang keluarga-keluarga produktif yang bekerja di berbagai sektor, pekerja rumah tangga berhak mendapatkan perlindungan dan pengakuan dari negara atas kontribusinya selama ini.

Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) menjadi undang-undang (UU) sesungguhnya akan menjadi memberikan manfaat yang besar, bukan hanya kepada pekerja rumah tangga melainkan juga bagi pemberi kerja.

Bahkan RUU PPRT mengusung semangat untuk menghapus diskriminasi dan perlindungan bagi warga negara. RUU tersebut tidak hanya sebatas mengatur upah layak, tetapi merupakan bentuk konkret dari kehadiran negara untuk memberikan jaminan sosial dan perlindungan dari berbagai kekerasan, praktik kerja anak, dan perdagangan orang. Bagi pemberi kerja, RUU PPRT justru akan memberikan kepastian karena adanya hubungan kerja yang profesional dengan PRT.

”Semangatnya RUU PPRT adalah memanusiakan manusia. Itu yang paling penting. Masak di zaman sekarang kita masih hidup dalam relasi yang sifatnya gelap. Kan ini bukan zaman perbudakan. Tapi kita juga harus arif dengan basis sosiokultural yang ada, maka RUU ini ada klusterisasi,” ujar Ketua Panitia Kerja RUU PPRT sekaligus Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Willy Aditya, Senin (1/11/2021).

Menurut Willy, klusterisasi dalam UU tersebut, yakni mereka yang direkrut secara langsung, tidak ada kontrak kerja, jam kerja, dan serikat dan mereka yang direktrut melalui penyalur bisa diatur lebih rinci. Karena itulah RUU tersebut selain basis yuridis juga mengusung basis filosofis yang memanusiakan manusia, basis sosiologis yang mengusung norma-norma.

”RUU ini justru akan menguntungkan dua pihak, karena ada jaminan hukum bagi si pemberi kerja dan si pekerja sendiri,” ujar Willy yang terus berharap agar RUU tersebut segera diparipunakan DPR.

Dari proses legislasi, naskah atau draf RUU PPRT sebenarnya telah diselesaikan Baleg DPR pada Juli 2020 lalu. Pihak Baleg sudah mengirim surat kepada pimpinan DPR selama tiga kali untuk meminta jadwal paripurna.

”Tinggal paripurna saja sebagai hak inisiatif DPR. Sekarang November. Berarti sudah hampir 1,5 tahun belum diparipurnakan. Setiap rapat badan musyawarah saya sampaikan segera paripurnakan. Tapi belum juga masuk jadwal. Tentu kita berharap secepatnya diparipurnakan. Ini UU yang populis, pro rakyat karena berkaitan dengan orang banyak,” kata Willy.

Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Giwo Rubianto Wiyogo menegaskan Kowani mendukung RUU PPRT karena RUU tersebut merupakan bentuk kehadiran negara bagi masyarakat kecil, tetapi sekaligus memberikan kepastian bagi pemberi kerja. Ia berharap pihak DPR tidak ragu untuk membahas dan mengesahkan sebagai UU.

Karena itulah, Giwo menyatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam RUU PPRT. Ia mengajak anggota DPR dan semua pihak untuk mencermati isi RUU PPRT tersebut sehingga dapat mengetahui semangat dari RUU tersebut, yang bukan hanya dikhususkan bagi PRT, melainkan juga bagi pemberi kerja.

”Jangan dilihat dari kepentingan politik. Mari kita pikirkan negara hadir bagi wong cilik. Mohon dipelajari agar kita memiliki persepsi bersama soal keadilan sosial. Apakah kita tidak mau menjadi negara maju? Kalau menuju negara maju kita harus memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. UU PPRT merupakan langkah awal pembentukan kualitas SDM,” ujar Giwo.

Penantian 17 tahun

Lita Anggraini, Koordinator Nasional Jala PRT, berharap DPR segera mewujudkan RUU PPRT menjadi UU. Apalagi, perjalanan legislasi dari RUU tersebut telah mencapai 17 tahun.

”Bagi PRT, RUU PPRT merupakan bentuk pengakuan dan perlindungan terhadap perempuan pekerja. RUU tersebut sekaligus ditujukan untuk membangun situasi dan hubungan kerja yang saling mendukung dan melindungi antara sesama warga negara sebagai PRT dan pemberi kerja,” kata Lita.

Dari sisi ketenagakerjaan, PRT berhak mendapatkan pengakuan negara. Karena apa yang dilakukannya dengan memenuhi unsur upah, perintah, dan pekerjaan. Artinya, PRT sebagai pekerja berhak atas hak-hak normatif dan perlindungan sebagaimana yang diterima pekerja pada umumnya.

UU PPRT juga penting karena UU PPRT merupakan bagian dari upaya untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional dan hak asasi manusia kepada perempuan PRT sebagaimana diamanatkan pada sila kedua Pancasila, yaitu ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dan sila kelima Pancasila, yaitu ”Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.

Bahkan menjadi amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28I (4), yakni perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

Perlindungan bagi 4,2 juta PRT juga bagian dari pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) No 5 Kesetaraan Gender dan No 8 Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi serta Prinsip SDGs, yakni ”Tak Seorang Pun Ditinggalkan”.

Anggota Komisi Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Theresia Iswarini, menegaskan, RUU Perlindungan PRT merupakan jalan perlindungan untuk memastikan hak-hak PRT terpenuhi. Akan tetapi, dengan situasi dan dinamika politik legislasi yang masih diwarnai budaya patriarki dan bias kelas, dia terus mendorong penguatan pengorganisasian dan PRT termasuk dalam perlindungan sosial agar dapat menjadi alternatif.

”Tantangan terkait PRT pada konteks kebijakan adalah cara pandang pembuat kebijakan yang masih menempatkan dirinya sebagai ’majikan’ ketimbang sebagai pembuat kebijakan yang memiliki mandat melindungi kelompok rentan,” ujar Rini.

Sumber : kompas.id

Tinggalkan Balasan