RUU PKS, Polemik dan Urgensinya
Pada kenyataannya, kekerasan (atau kejahatan) itu terjadi. Di sisi lain, perbedaan cara pandang dan persepsi tentang apa yang disebut kekerasan (dan kejahatan), itu juga terjadi. Hari ini, apa yang disebut kekerasan seksual ternyata bukan sekadar frasa sederhana, sesederhana orang awam memahaminya. Lebih dari itu, ‘kekerasan seksual’ telah menjadi arena pertarungan wacana, budaya, dan bahkan ideologi di antara kelompok kepentingan.
Inilah dinamika yang terjadi dalam lingkup pembahasan dan perdebatan terkait RUU Penghapus an Kekerasan Seksual (PKS) yang masih berada di tangan DPR sebagai bagian dari prolegnasnya. Jauh dari mengkhawatirkan, dinamika semacam ini justru baik dan sehat dalam kehidupan sosialpolitik di Tanah Air.
Seks dan kekerasan mungkin ialah narasi tertua dalam sejarah manusia ini setidaknya jika kita boleh mengambil cerita Habil dan Qabil sebagai ilustrasinya. Dalam laku kehidupan manusia, seks mungkin merupakan urusan yang sederhana. Namun, sebagai wacana, ia ialah pandangan kompleks yang dilatari sejarah dan dinamika kehidupan sosial manusia yang merentang ber abad atau bahkan bermilenium lamanya.
Agama punya pandangan tentang apa itu seks dan bagaimana ia dipahami dan dimani festasikan. Demikian juga kalangan modern. Mereka bahkan melihat seks sebagai perkara yang bersinggungan dengan kekuasaan hingga kelanggengan dominasi suatu entitas tertentu.
Dialektika kehidupan modern kemudian melahirkan apa yang disebut dengan seksualitas. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terlalu sederhana mendefi nisikan kata ini. Husein Muhammad (2014) menyebutnya sebagai konsep tentang eksistensi manusia yang mengandung di dalamnya aspek emosi, cinta, aktualisasi, ekspresi, perspektif, dan orientasi atas tubuh yang lain. Dalam konteks tersebut, seksualitas merupakan ruang kebudayaan manusia untuk mengekspresikan dirinya terhadap yang lain dengan arti yang sangat kompleks.
Pandangan yang lain menyebutkan bahwa seksualitas menyangkut berbagai dimensi yang sangat luas, yaitu dimensi biologis, sosial, psikologis, dan kultural. Walhasil, kehidupan modern kemudian menelaah perihal yang terkait dengan seks bukan semata soal aspek biologis semata. Namun, di zaman modern ini, nilai-nilai, norma, hingga pandangan konservatif terkait seks masih bertahan dan eksis.
Dua paradoks
Pada gilirannya, polemik mendasar terkait RUU PKS bukan lagi terletak pada materi dalam RUU. Pertentangan yang cukup keras justru terletak pada kecurigaan tentang nilai dan agenda apa yang melatari munculnya isu dan polemik tersebut. Bahkan, secara esensial, perdebatan utama sesungguhnya terletak pada apa itu seksualitas dan seperti apa pandangan tiap-tiap kelompok terkait term tersebut karena, kiranya, dari cara pandang yang berbeda itulah lahir perbedaan sikap atas RUU tersebut.
Baik kelompok yang mendukung maupun menentang RUU PKS sama-sama mengklaim memiliki misi mulia terhadap entitas bernama perempuan; entitas yang dinilai banyak mengalami kerugian dalam relasi yang didasarkan pada seksualitas. Namun, sebagaimana disebut di atas, cara pandang telah membuat misi pemuliaannya menjadi berbeda. Bagi yang mendukung, RUU PKS akan menyelamatkan banyak korban kekerasan seksual.
Sementara itu, bagi yang menentang, mereka mempertanyakan apa itu kekerasan dan mengapa kekerasan. Mengapa bukan kejahatan seksual yang menjadi soal. Lewat dua diksi ini, kelompok yang memiliki latar pemikiran dan ideologi yang berbeda bertarung saling menjegal satu sama lain.
Tepat di titik inilah beragam paradoks menyertai pandangan yang datang dari dua kubu ini. Bagi kubu yang mendukung, kekerasan seksual begitu manifes terjadi. Ratusan ribu data kekerasan bahkan tercatat di berbagai lembaga. Bagi mereka, kekerasan meliputi pelecehan, penghinaan, diskriminasi, penganiayaan, hingga diskriminasi terkait aspek-aspek seksual.
Namun, bagi kelompok yang menentang, diksi kekerasan ialah bias dan hasil dari cara pandang yang mengabaikan nilai-nilai hidup ketimuran bahkan nilai-nilai dari Tuhan. Terminologi kekerasan merupakan buah dari cara berpikir ala kaum feminis dan cenderung sekuler. Cara berpikir yang sesungguhnya telah membuka banyak ruang terjadinya pelecehan dan penyimpangan, khususnya terhadap perempuan, dan seksualitas itu sendiri.
Di sisi yang lain, kaum pendukung melihat bahwa terjadinya ke kerasan disebabkan secara determinan oleh budaya patriarki; sebuah konsep sosial yang menempatkan laki-laki sebagai yang utama atau dominan, baik dalam konteks kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, maupun penguasaan properti. Budaya ini ditopang dan dilanggengkan oleh nilai, tradisi, hingga (tafsir atas) agama. Dalam cara pandang kebudayaan semacam ini, perempuan senantiasa menjadi pihak yang tersubordinasi, sekunder, atau entitas yang dinomorduakan. Oleh sebagian kalangannya, perempuan bahkan disebut sebagai sumber fitnah dan petaka.
Namun, bagi kalangan penentang RUU PKS, dalam beberapa konteks, hal semacam itu justru wujud perlindungan terhadap kaum perempuan agar terhindar dari peleceh an dan sejenisnya. Sebagai ilustrasi kecil, adanya pengaturan terhadap busana perempuan, sesungguhnya ialah wujud dari perlindungan terhadap perempuan, bukan pengekangan. Demikian juga terkait kepemimpinan laki-laki atas perempuan, itu ialah tugas yang dibebankan kepada laki-laki untuk melindungi perempuan. Bagi kelompok penentang yang mestinya tersanding di antara laki-laki dan perempuan dalam ruang sosial ialah keserasian, bukan kesetaraan.
Mencari titik temu
Sepertinya, yang dilihat dari tiap-tiap kubu ialah bias-bias atau ekses dari pemahaman dan pandang an akan suatu nilai kebudayaan. Kelompok pendukung melihat sisi kelam patriarki terhadap seksuali tas, utamanya terhadap perempuan. Sementara itu, kelompok penentang, melihat ada nilai yang tidak selaras dengan nilai dan norma ketimuran di balik rumusan RUU PKS. Seperti disebut di awal, yang terjadi terkait RUU ini ialah pertarungan cara pandang.
Oleh karena itu, mengapa kita tidak mencoba mengubah cara pandang guna melihat sisi yang menjadi titiktitik temunya. Kedua kubu sama-sama ingin memuliakan kaum perempuan. Sama-sama menghargai dan menghormati seks dan seksualitas. Kedua kelompok juga sama-sama tidak bersepakat terhadap tindakan sewenang-wenang, tindakan yang melecehkan atau merugikan dalam kaitannya dengan, atau di dalam kehidupan seksual. Jika demikian, mengapa kita tidak mencoba untuk berangkat dari semua kesamaan itu.
Dalam kenyataan yang ada, perempuan merupakan korban dominan dalam relasi seksual kehidupan sosial kita. Mereka bahkan sering disebut ‘sudah jatuh, tertimpa tangga pula’. Dalam kasus perkosaan, misalnya, kaum perempuan kerap berpredikat ‘yang tersalah’ meski dialah yang menjadi korbannya. Misalnya, dengan menyebut mereka salah berpakaian, berperilaku tidak senonoh, dan seterusnya. Dalam kasus perselingkuhan, secara paradoks perempuan menjadi begitu superior sekaligus minor. Mereka disebut dengan istilah ‘pelakor’ (perebut laki orang). Di sisi lain, ketentuan hukum yang ada masih berorientasi pada pelaku, bukan korban. Itu pun hanya mengatur perzinaan, pemerkosaan, dan aborsi. Karena itulah korban kerap merasa tidak terlindungi dalam banyak kasusnya. UU semacam PKS ini ditujukan untuk lebih berorientasi pada korban dan memberikan legal standing kepada aparat untuk bisa bergerak lebih dalam menindak kasus dalam berbagai konteks relasi seksual.
Dalam sejarahnya, persoalan seks di berbagai komunitas sosial memang selalu melahirkan problematika, baik terkait cara pandang maupun praktiknya. Di sinilah pentingnya dialog dan edukasi demi tumbuhnya literasi tentang relasi seksual berikut dengan berbagai ekses dan ketimpangannya. Melihat fenomenanya, kita membutuhkan RUU ini demi melindungi korban dalam relasi seksual serta demi terjaganya harkat dan martabat manusia, apa pun jenis kelaminnya.
Tulisan ini dimuat di Media Indonesia Rabu, 21 Juli 2021