Posted on / by Willy Aditya / in Opini

Selamat Datang Sains dalam (Program) Parpol Indonesia

“To do politics is to always expand the frontiers of the possible. To make culture is to always fight in the frontiers of the impossible.” (Jorge Furtado, sutradara film dan jurnalis Brasil)

 

MENGELOLA negara berarti melakukan dua hal sekaligus, yaitu berpolitik dan membangun budaya baru. Berpolitik tentu harus dipahami secara lebih dalam, tidak hanya mendapatkan kekuasaan, tetapi juga sebagai sebuah kemampuan mengelola kekuasaan. Hampir setiap orang berfokus pada yang pertama tanpa pernah mencoba berpikir mengelola kekuasaan.

Dengan demikian, taraf capaian kekuasaan jangankan sampai pada pembudayaan bahkan sampai pada terpenuhinya kepentingan warga (publik) pun tidak. Apalagi dengan absennya ilmu pengetahuan dalam pengelolaan negara. Ini terjadi karena dari penyangga kekuasaannya pun–partai politik—tidak mempunyai kedekatan dengan sains.

Dari pamflet politik hingga buku ideologis

Kita dapat telusuri sejak awal, pendiri bangsa selalu menggunakan landasan epistemologis dalam merumuskan sikap perjuangan, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Sedari awal beliau-beliau menyadari pentingnya ‘akal dan nalar’ dalam bersikap dan bertindak.

Ignas Kleden dalam Fragmen Sejarah Intelektual: Beberapa Profil Indonesia Merdeka (2020: 140) menyatakan, “Pamflet politik (seperti Perjuangan Kita oleh Sjahrir), teks untuk pengajaran di universitas (seperti Pengantar ke Jalan Ekonomi Sosiologi oleh Hatta), naskah pendidikan politik (seperti Sarinah oleh Soekarno), atau berbagai uraian pendidikan nasional (seperti yang ditulis oleh Ki Hajar Dewantara) adalah bahan-bahan yang menjadi batu sendi sejarah.

Kita tentu juga harus menyebutkan Madilog karya Tan Malaka. Buku yang oleh penulisnya ditujukan ‘bukan hanya untuk rakyat Indonesia, tetapi revolusioner seluruh dunia’ telah membuka cakrawala betapa sains menjadi elemen penting dalam proses perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dalam bukunya ini, Tan Malaka menuliskan ilmu-ilmu alam mutlak (sains)– biologi, fisika, dan kimia— dengan pendekatan filosofis. Tan Malaka sengaja memilih sains sebagai model karena disiplin ilmu ini menggunakan sebuah cara berpikir dan metode yang bersifat terbuka, dan dapat diakses secara publik sehingga hasilnya pun bersifat objektif dan dapat dipertanggungjawabkan (Tjaya, 2019: 192).

Tentu saja banyak karya lain yang dapat kita daftar berjajar sebanyak mungkin. Dapat kita lihat dari pamflet politik hingga buku ideologis selalu melibatkan sains di dalamnya. Beliau, para pendiri bangsa ini, sedemikian enggan lengah dari upaya ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’. Dengan begitu, tidak mengherankan jika pada waktu banyak terjadi diskusi dan perdebatan yang luar biasa sengit, tetapi konstruktif. Di atas cara pandang yang berbeda itulah landasan untuk hidup bersama sebagai negara-bangsa berdialektika.

Mengapa harus sains

Tanpa sains, partai politik (parpol) akan selalu berada di dalam dua posisi yang tidak menguntungkan; diombang-ambingkan pendapat umum atau kaku memegang pendapat sendiri. Yang pertama, membuat parpol bersikap membebek pada arus besar yang menjadi wacana umum.

Tentu harus dipahami bahwa tidak semua yang menjadi arus besar merupakan kebaikan yang dapat diterima semua orang. Bisa jadi itu merupakan bentuk dominasi mayoritas di satu sisi, dan ketidakmampuan minoritas bersuara dan mendapatkan akses di sisi yang lain.

Parpol tanpa sains akan selalu beranggapan bahwa yang menjadi arus besar harus diikuti karena baik. Itu sekaligus juga untuk menjaga kantong suara.

Laku parpol kedua, merupakan akibat dari kebijakan partai yang elitis. Hal ini karena kebijakan partai politik dirumuskan satu atau segelintir orang saja.

Dengan begitu, akan sangat sulit bagi pendapat lain untuk didengarkan atau dipertimbangkan. Akibatnya partai akan berjalan berdasarkan komando saja. Program dan kebijakan parpol akan cenderung dogmatis dan akan membuat parpol berjarak dengan publik. Ini karena ada ketidakklopan antara fakta realitas dengan sikap dan tindakan parpol.

Keduanya membuat politik menjadi sesuatu yang dangkal sehingga dalam praktiknya, politisi sebagai perwakilan parpol lebih mahir beretorika jika dibandingkan berargumen yang konstruktif. Tidak terlihat sebuah gagasan politik yang dilahirkan parpol sebagai paham politik yang kuat dan ideologis. Karena gagasan politik yang ada tidak berdiri di atas epistemologi politik yang dapat dipertanggungjawabkan sampai ke dasar yang sedalam-dalamnya, dan diuji konsekuensi-konsekuensinya sampai batas yang terjauh (Kleden, 2020: 141).

Artinya dengan sains, politik akan lebih kaya dengan perspektif dan data. Dialog yang terbangun pun akan melahirkan keragaman pilihan dan kesadaran akan konsekuensi atas pilihan yang diambil oleh parpol.

Terbukanya kebijakan sebuah parpol, tidak saja karena melibatkan ‘semua’ pemangku kepentingan, tetapi juga kemampuan kebijakan itu untuk ditangkap dan diuji oleh publik. Sebuah kebijakan atau gagasan dapat diuji jika mengandung sains di dalamnya.

Karena tanpa sains di dalamnya, tidak ada cara untuk mengukur sejauh apa dan bagaimana proses kebijakan yang dibuat parpol menyerap ‘pengetahuan’ warga. Pada taraf ini, parpol akan mampu secara jelas dan runtut membangun ruang untuk berbeda pendapat dengan siapa pun. Karena dengan sains akan tersedia kriteria imprecise, yaitu ruang perbedaan pendapat tentang sejauh mana mereka berpegang teguh (Nurkhalis, 2012). Sehingga terbuka peluang disagreement rational man. Dengan demikian, membawa sains ke dalam parpol tidak saja menyelamatkan parpol pada kejumudan yang abadi, tetapi juga meningkatkan harkat hidup publik.

Penutup

Politik rasional sebenarnya merupakan transaksional programatik. Upaya-upaya demikian ini selalu merupakan upaya menyeluruh terkait kemampuan nilai, struktur, dan infrastruktur parpol. Pertama dan utama bagi parpol penting untuk membuka dan terbuka pada peran sains. Tidak terbatas pada kuantitatif tetapi juga kualitatif.

Dengan begitu, kebijakan parpol ke dalam ataupun ke luar selalu didukung basis keilmuan yang kuat, juga mampu membangun narasi. Kegagalan kita sebagai bangsa dan negara Indonesia diawali dari ketidakmampuan mengelola cara berpikir sehingga ide dan perilaku politik lebih banyak disandarkan pada intuisi dan aksidensi. Tergambar dari ketidaksinambungan setiap program pembangunan yang dikerjakan oleh pemerintah. Seolah pemimpin baru berarti program baru dengan menghapus semua jejak pemimpin lama. Sekali lagi, karena praktik politik tidak berbasiskan pada keilmuan.

Terbit di: MediaIndonesia.com

Tinggalkan Balasan