Sinergi Membangun Bangsa melalui Pemerintahan yang Inklusif
MENGAPA Negara Gagal? Itulah judul buku provokatif karya Daron Acemoglu dan James A Robinson yang dirilis pada 2012 lalu. Buku itu menjelaskan mengapa beberapa negara berhasil menjadi kaya dan sejahtera, sementara yang lain tetap miskin dan gagal. Acemoglu dan Robinson menekankan pada dua kata kunci untuk menjawab pertanyaan ini: inklusif dan ekstraktif.
Institusi politik dan ekonomi yang inklusif ialah kunci menuju kemakmuran sebuah masyarakat atau negara. Sebaliknya, institusi politik yang ekstraktif dan ekonomi yang ekstraktif akan mengakibatkan kemiskinan dan stagnasi. Apa itu institusi politik yang ekstratif? “Institusi politik ekstratif mengonsentrasikan kekuasaan di tangan segelintir elite yang sempit,” ujar Acemoglu dan Robinson.
Kombinasi institusi politik yang ekstraktif dengan ekonomi yang ekstraktif–yang maknanya juga berarti mengonsolidasikan sumber-sumber ekonomi di tangan segelintir elite–akan berujung pada stagnasi. Kedua ciri inilah yang tampak pada beberapa model kekuasaan yang gagal bertahan, contohnya Uni Soviet. Tiongkok yang memiliki institusi politik yang ekstraktif, terkonsentrasi di tangan Partai Komunis China, tumbuh pesat setelah membuka ketertutupan ekonomi mereka.
Namun, ekonomi yang inklusif ini pada akhirnya akan mendorong institusi politik yang ekstraktif untuk menjadi inklusif. Pilihannya jadi dua bagi Tiongkok: pertama, inklusivitas ekonomi ditinjau ulang, atau kedua, menjadikan institusi politiknya lebih inklusif. Kita sama-sama melihat gejala kembali menarik rem inklusivitas ekonomi itu ketika, misalnya, upaya Alibaba menjadi lebih besar digagalkan oleh pemerintah Tiongkok dan ekonomi Tiongkok pun setelah berdekade tumbuh pesat, kini mulai melambat.
Idealnya, sebuah negara menyeimbangkan model institusi politik inklusif dan ekonomi inklusif sekaligus agar menjadi negara yang besar secara ekonomi dan bermartabat secara politik. Pertanyaan sekarang ialah bagaimana dengan Indonesia setelah 26 tahun Reformasi yang membongkar institusi politik yang ekstratif? Apakah kita menuju keseimbangan dua inklusivitas ini?
Institusi politik yang inklusif dan ekonomi yang inklusif sedari awal dicita-citakan oleh para pendiri bangsa. Rumusan institusi politik yang inklusif itu termaktub dalam sila keempat Pancasila. Sementara itu, rumusan ekonomi inklusif bisa dilihat dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 Naskah Asli yang mana ‘perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan’.
“Negara rakyat Indonesia menolak segala tata negara atau bagian-bagiannya yang melanggar dasar permusyawaratan, perwakilan, dan pikiran,” kata Mr Muhammad Yamin saat berpidato di depan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 29 Mei 1945. Para pendiri bangsa membayangkan sebuah negara yang berdiri di atas bangunan permusyawaratan, perwakilan, dan akal sehat atau pikiran.
Sila-sila Pancasila merefleksikan intisari bernegara. Soekarno menyebutnya sebagai weltanschauung atau philosofische grondslag. Pancasila ialah common ground dan sekaligus common goal kita bernegara. Soekarno mencontohkan Lenin mendirikan Uni Soviet di atas pandangan Marxisme atau materialisme historis, Jepang berdiri di atas pandangan dunia Tenno Koodooo Seishin, dan Ibn Saud mendirikan Arab di atas pandangan Islam. Soekarno menekankan bahwa weltanschauung merupakan dasar bagi persatuan dan kemerdekaan.
Ide awal Indonesia itu awalnya disusun atas dasar semangat antikolonialisme, antiimperialisme, dan antipenjajahan. Hari ini, the idea of Indonesian harus kita isi dengan cita-cita yang sudah digariskan para pendiri bangsa di dalam undang-undang dasar dan Pancasila.
Apa cita-cita bangsa kita? Bahwa negara ini ada untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Inilah common goal kita sebagai sebuah bangsa.
MENDORONG SINERGI
Hari ini, common ground dan common goal ini menghadapi tantangan besar, dari luar dan dari dalam sekaligus. Dunia yang semakin datar melalui industri 4.0 yang membawa gelombang perubahan di bidang teknologi informasi (infotek) dan teknologi biologi (biotek) sampai ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Revolusi infotek telah mengubah ekonomi, pendidikan, sosial, dan budaya dengan dampak yang luas. Sementara itu, revolusi biotek telah membuat cara kita memahami, memanipulasi, dan memanfaatkan organisme hidup untuk berbagai keperluan berubah.
Kedua revolusi itu membuat manusia semakin terkoneksi dan bangsa-bangsa semakin terkait dengan satu sama lain. Kolaborasi dan kerja sama menjadi kata-kata kunci menghadapi revolusi ini. Bangsa yang gagal menyiapkan warga negaranya untuk kedua revolusi itu akan menjadi bangsa paria atau dalam bahasa Yuval Noah Harari, useless (tak berguna).
Sementara itu, di dalam negeri, kita sedang dihinggapi epidemi yang disebut sebagai mentalitas kepiting yang membuat kita sulit berkolaborasi, bekerja sama, atau bersinergi. Mentalitas kepiting untuk saling menjatuhkan, saling menjelekkan, atau saling menarik mundur satu sama lain. Ini wabah yang menggoncang sendi-sendi bangsa kita yang berbudayakan gotong royong, saling tolong menolong, dan berkolaborasi.
Komitmen untuk sinergi harus dimulai dengan mikul dhuwur, mendem jero. Kita angkat yang baik-baik, kita kubur yang buruk-buruk, lalu sama-sama melihat ke depan. Siapa orang yang tidak punya catatan buruk? Siapa orang yang tidak punya kekurangan? Kita taruh dulu catatan-catatan ini, kita bangun komitmen bersama ke depan, untuk kepentingan yang lebih besar bernama Indonesia. Tantangan-tantangan yang dihadapi bangsa ini hanya bisa dihadapi dengan sinergi dan bekerja sama.
Sinergi itu bukanlah langkah asing bagi NasDem. Arah politik NasDem sejak awal didirikan ialah menawarkan gagasan perubahan menuju kemajuan, bukan saling menjelek-jelekkan, apalagi saling menjatuhkan. Gagasan itu melampaui orang, organisasi, ataupun keadaan.
Ketika ada pemimpin baru terpilih dan memiliki komitmen berada dalam trajektori untuk kemajuan, NasDem akan ikut mendukung. Tiga kali pemilu dan pemilihan presiden membuktikan NasDem siap dipimpin, seperti juga siap memimpin. Sinergi itu dimulai dengan pemerintahan yang inklusif, merangkul sebanyak-banyaknya kekuatan, untuk bersama-sama mewujudkan common goal seperti dimandatkan konstitusi kita. Mari sinergi membangun bangsa.