Posted on / by Willy Aditya / in Catatan

Tentang Ruang Rasa

(Willy Aditya)

Pandemi masih pasang-surut hingga awal 2022 ini. Covid-19 dengan segala variannya tidak hanya menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan hidup manusia. Ia juga telah mengajarkan kepada kita tentang sebuah paradoks yang melibatkan dialektika antara kebebasan dengan keterbatasan kita sebagai manusia.

Satu hal yang tak bisa dipungkiri dari pandemi ini adalah kita kehilangan kebebasan dalam sosialisasi dan interaksi dengan khalayak ramai. Pembatasan ruang gerak itu telah meluluhlantakkan kehidupan dasar manusia untuk bisa bebas dan lepas bersama manusia lainnya. Tatap muka berubah menjadi daring, dan kita mulai mencari cara bagaimana melepaskan kerinduan untuk bisa saling berbagi secara langsung tanpa peduli pada protokol dan varian baru yang datang mengendap-ngendap menyerang kita.

Seperti pada pagi hari ini saat aku bertanya pada anak gadisku yang tengah bersiap-siap berangkat ke Sanggar Ananda di bilangan Manggarai, Jakarta Selatan. Ia tak lagi peduli akan pandemi yang sedang meningkat. Yang dia tahu dia harus mempersiapkan diri untuk berlatih menjadi presenter acara, bermain drama, atau melenggak-lenggok di atas catwalk bak pragawati nan anggun mempesona.

Berinteraksi dan berekspresi adalah ruang rindu. Bermain dan berkumpul dengan sesama adalah persambungan rasa sebagai kesatuan dasar kemanusiaan. Di sinilah ruang bermain menjadi pendidikan langsung yang membuka cakrawala anak manusia seluas langit di angkasa untuk bisa mengenal dirinya melalui interaksi dengan yang lain.

Kepadanya ingin kusampaikan, “Anakku, walau terlambat sebagai kado ulang tahun, kujadikan tulisan ini sebagai kado ultah sekaligus hari Valentine bagimu yang mulai tumbuh sebagai seorang gadis tulen.

Jauh dalam ruang rindu diriku, masih tersimpan harap dan ingin untuk menemanimu bermain, membaca puisi, menari balet, atau menceritakan kisah dari beberapa buku yang kau baca. Menemanimu berada dalam ruang-ruang bermain di sekitaran kampung kita, Kampung Kebon Nanas ini. Mungkin kampung kita kurang seberuntung kampung seberang yang memiliki Taman Simanjuntak; tempat dulu sering kuajak dirimu berlarian menangkap rama-rama atau bermain sepeda di sana.

Anakku, lahir dan tumbuh di kota besar yang penuh kemegahan dan kemewahan yang hampir semua berbayar adalah salah satu wujud dari paradoks itu. Bahkan hanya sekadar untuk menari, menyanyi, atau baca puisi pun kau dan yang lain harus membayar ke sanggar yang berada di sepetak ruko.

Ya, kerinduan akan ruang bermain itu, anakku, adalah ruang-ruang kebebasan yang selalu didamba oleh manusia; di mana setiap orang tanpa terkecuali bisa memiliki akses yang sama untuk tertawa dan bebas berekspresi mengeluarkan bakat yang Tuhan berikan. Itulah cara alami untuk setiap manusia menemukan kemanusiaan mereka di tengah lingkungan anakku. Namun semua itu telah dibatasi oleh segala kemegahan yang ada di kota megapolitan tempat kita tinggal ini.

Anakku, Tuhan menciptakan setiap manusia dengan kelebihan mereka masing-masing. Ruang didik dan masyarakatnya-lah yang mengantarkan mereka menemukan bakat-bakat mereka. Setiap anak-anak yang tumbuh di dalamnya mestinya mampu mencari diri mereka sendiri tanpa harus terbatasi oleh ruang-ruang yang berbayar. Mereka berhak atas pembelajaran yang setara dengan kualitas yang sepadan untuk menjadi manusia-manusia hebat. Bila bangku sekolah hanya membuat manusia menjadi seragam lewat indikator keberhasilan berupa hapalan yang dikonversi ke dalam angka rapor maka lingkunganlah yang semestinya mendidik kita untuk tidak menjadikan pohon rambutan berbuah mangga.

Anakku, aku masih saja memendam cita-cita untuk lahirnya ruang itu di sekitar kampung kita. Kita akan berjuang melawan sempitnya ruang dan mahalnya tempat serta mewahnya voluntarisme di kota besar ini. Seolah-olah rasa kemanusiaan harus selalu ditukar dengan sekian rupiah; dan filantropi dianggap narasi usang yang harus terbuang dalam kehidupan sosial kita.

Anakku, jika orang banyak cemas akan tingginya angka pengguna narkoba di kalangan remaja, tawuran antarkampung yang meresahkan warga, atau trek-trekan motor yang membisingkan; tidakkah kita pernah bertanya mengapa semua itu terjadi? Jika setiap lahan kosong yang semestinya menjadi ruang bermain anak harus dikonversi menjadi bisnis dengan orientasi keuntungan, peradaban semacam apakah yang kiranya akan terbangun nantinya?

Pertanyaan-pertanyaan di atas menyisakan ruang tanya lebih lanjut yang ujungnya mungkin berupa: di ruang seperti apakah setiap rasa yang ada dalam diri manusia akan bertemu?

Selamat ulang tahun, anakku, dan selamat hari Valentine! Yang disebut terakhir ini biasa disebut sebagai “hari kasih sayang”. Demikianlah, peradaban modern sampai mengkhususkan sebuah hari bagi terbangunnya kasih sayang. Seolah di hari-hari yang lain kasih sayang menjadi sesuatu yang harus lahir dari sebuah transaksi. Entahlah. Yang pasti, aku berharap kelak ini semua menjadi insight sekaligus bahan permenungan bagimu dalam membaca ruang hidup di sekitarmu untuk menemukan kemanusiaanmu bersama teman-temanmu kelak.

Sebagai penutup, kuberikan sebait puisi dari Khalil Gibran ini untukmu:

Kau boleh memberi mereka cintamu, tetapi bukan pikiranmu

Sebab, mereka memiliki pikiran sendiri

Kau bisa memelihara tubuh mereka, tetapi bukan jiwa mereka

Sebab, jiwa mereka tinggal di rumah masa depan, yang takkan bisa kau datangi, bahkan dalam mimpimu.”

 

Kebon Nanas, 14 Februari 2022

Tinggalkan Balasan