Posted on / by Willy Aditya / in Berita

Tunda Pembahasan ”Omnibus Law” di Masa Darurat Covid-19

Dewan Perwakilan Rakyat diharapkan menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang dibentuk dengan metode omnibus law. Pembahasan RUU itu memerlukan partisipasi publik yang luas, dan kajian mendalam dari berbagai sektor, sehingga sebaiknya tidak dipaksakan untuk diteruskan di tengah upaya penanganan penyakit coronavirus disease 2019 atau Covid-19.

Dalam rapat paripurna pembukaan masa sidang ketiga, Senin (30/3/2020), Ketua DPR Puan Maharani mengatakan, pembahasan omnibus law akan dilakukan sesuai dengan mekanisme yang ada.

Terkait hal ini, mekanisme yang ditempuh dalam pembahasan RUU di DPR biasanya diawali dengan rapat Badan Musyawarah (Bamus) untuk menjadwalkan rapat paripurna pembacaan surat presiden (surpres)  RUU bersangkutan. Setelah surpres dibacakan di dalam rapat paripurna, pembahasan dilanjutkan di Bamus kembali untuk menentukan alat kelengkapan dewan (AKD) yang akan membahas RUU tersebut. Pilihan AKD itu meliputi komisi, Badan Legislasi (Baleg), atau panitia khusus (pansus).

Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Charles Simabura, mengatakan, dalam kondisi darurat Covid-19 seperti sekarang, sebaiknya pembahasan omnibus law ditunda, karena tidak mungkin melibatkan partisipasi publik secara luas. Terlebih RUU Cipta Kerja utamanya melibatkan multisektor dan mencakup kepentingan masyarakat luas.

”Di dalam kondisi normal saja, banyak tuntutan untuk menghentikan pembahasan omnibus law, karena cakupannya yang sangat luas, dan substansinya yang kontroversial dalam beberapa aspek,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (31/3/2020).

Di meja pimpinan

Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditya mengatakan, hingga saat ini draf dan surpres RUU Cipta Kerja masih ada di meja pimpinan. Dalam beberapa rapat konsultasi pengganti Bamus, surpres itu belum dibahas atau dijadwalkan di dalam paripurna.

Melihat kenyataan itu, ada kecenderungan pembahasan omnibus law itu tidak dilakukan dalam waktu dekat. Namun, Baleg berpatokan pada pernyataan pimpinan DPR yang menyatakan pembahasan itu akan dijalankan sesuai dengan mekanisme.

Dari 50 RUU yang masuk program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2020, hanya empat yang disebutkan memasuki pembahasan tingkat pertama di DPR, yakni RUU Perlindungan Data Pribadi, RUU Pertambangan Mineral dan Batu Bara, RUU Daerah Kepulauan, dan RUU Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Kerajaan Swedia tentang Kerja Sama Bidang Pertahanan.

Willy mengatakan, Baleg saat ini masih menyempurnakan tata tertib (tatib) DPR dalam situasi kebencanaan, termasuk dengan kemungkinan dibolehkannya tanda tangan elektronik di dalam rapat virtual. Hal-hal teknis itu diperlukan pula dalam pembahasan legislasi dalam kondisi darurat.

Namun, khusus terkait dengan pembahasan legislasi yang dibentuk dengan metode omnibus law, belum ada kepastian karena surpres bahkan belum dibacakan di paripurna.

”Kami di DPR menginginkan pemerintah dan DPR fokus pada penanganan Covid-19. Oleh karena itu, yang menjadi isu besarnya ialah realokasi anggaran untuk APBN dalam menangani Covid-19,” katanya.

Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi mengatakan, sekalipun hanya empat RUU yang dibacakan di dalam rapat paripurna, dan sebagian merupakan RUU yang pernah dibahas dalam DPR periode sebelumnya, bukan berarti RUU lainnya tidak menjadi prioritas.

”Semua 50 RUU itu disepakati masuk sebagai prolegnas prioritas sehingga tidak ada alasan untuk mengatakannya bukan prioritas,” katanya.

Akan tetapi, dalam kondisi tertentu, menurut Baidowi, dapat juga dilihat kembali urgensi pembahasannya.

”RUU itu tetap prioritas, karena tidak ada alasan untuk tidak menjadikannya prioritas. Tapi, dalam kondisi darurat, tentu akan ada pengaruhnya terhadap waktu ataupun mekanisme pembahasan,” katanya.

Waktu pembahasan omnibus law bisa saja lebih lama dari yang semestinya saat pembahasan dilakukan di dalam kondisi normal. Namun, bukan berarti pembahasan RUU itu tidak diprioritaskan. Pembahasan legislasi, lanjut Baidowi, juga tidak memungkinkan mengundang banyak masyarakat dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU). DPR kemungkinan membatasi publik yang mengikuti RDPU.

”Kalau biasanya banyak orang bisa masuk ikut rapat, kini mungkin hanya dua yang hadir secara fisik, dan sisanya mengikuti secara virtual,” ujarnya.

Sumber : kompas.id

Tinggalkan Balasan