Kios Buku Padang Teater
Adalah mustahil melupakan seorang Haji Ali Akbar Navis (AA Navis). Sebab berjumpa dan kemudian berdinamika dengannya telah menjadikan saya orang yang mencintai buku. Pada suatu kesempatan, Si Angku, begitu beliau biasa disapa, pernah bertutur kala dirinya bersekolah di sekolah di INS Kayu Tanam. Sekolah yang berdiri tahun 1926 itu memang menjadi spesial bagi dirinya.
Si Angku tinggal di Padang Panjang. Jarak dari rumah ke sekolah yang didirikan oleh tokoh pendidikan Sumatera Barat Muhammad Sjafei ini kira-kira 20 km. Setiap harinya dia diberi uang saku 50 sen oleh orang tuanya. Dia bercerita, setengah dari uang tersebut ia gunakan untuk makan, setengahnya lagi untuk ongkos pergi-pulang dari rumah ke sekolah. Tapi Si Angku lebih memilih naik kereta api batubara yang pelintasannya melewati sekolah. Dia sengaja melakukan itu demi bisa menyisihkan jatah ongkosnya untuk satu hal yang begitu berharga baginya: membeli buku.
Terhadap buku, Si Angku memang punya prinsip yang bagi saya tiada duanya. Ketika kemudian dia menjadi pemimpin di almamaternya itu dia pernah berpetuah pada para guru di INS Kayu Tanam. Kepada guru-guru seperti Irmansyah, Yusril, Adri Sandra dia mengatakan, “Tidak ada orang hebat lahir karena maling buku.”
Hal serupa tentunya juga dia sampaikan kepada kami para siswa di sekolah tersebut.
Angku Navis menaruh buku-buku pribadinya di perpustakaan sekolah, tapi dia membuat aturan agar setiap pembacanya tidak melipat setiap halaman atau membawa buku ke asrama. Membaca buku-bukunya haruslah di ruang baca perpustakaan. Untuk itu perpustakaan pun buka sampai malam hari.
Cerita Angku Navis tentang uang saku dan buku ini kemudian menjadi insprirasi saya ketika berkuliah di Yogyakarta tahun 1997. Mulai dari bulan pertama ketika menyusun makalah Penataran P4, saya sudah melaksanakan tradisi tersebut. Saya mendapat uang saku 100 ribu rupiah dari orang tua setiap bulan. Saya sisihkan separuh untuk membeli buku. Kebetulan di Jogja, ada shoping center tempat buku loak dan baru dengan harga miring. Buku pertama yang saya beli adalah pidato Bung Karno 1 Juni tentang Pancasila dan buku Ruslan Abdul Ghani, juga tentang Pancasila.
Pengalaman yang tak terlupakan adalah pada bulan kedua. Toko tempat saya membeli buku menawarkan Di Bawah Bendera Revolusi Jilid Idengan harga 90 ribu rupiah, itupun sudah dianggap murah meski kondisi buku tersebut dalam keadaan tidak ada cover dan beberapa halaman depannya dimakan rayap. Dalam hati saya, ini adalah buku langka dan legendaris, kalau saya tak beli sekarang kapan lagi, tapi kalau saya beli saya tidak makan sebulan. Alhasil saya memutuskan untuk membeli buku tersebut.
Dengan sisa uang 10 ribu saya harus bertahan hidup. Bagaimanapun caranya. Otak pun diputar, peluang dicari. Dan seperti pepatah Arab, man jadda wa jada, jalan keluar pun seperti hadir dengan sendirinya. Tidak hanya jadi solusi, ia bahkan menjadi berkah tersendiri bagi saya. Jalan keluar itu adalah “seminar”.
Hampir setiap seminar yang ada di kompleks Bulaksumur, di UC (University Center), Purna Budaya, Graha Saba, bahkan di beberapa fakultas lain, saya hadiri. Semua demi terpenuhinya kebutuhan dasar saya sebagai manusia. Dan seperti sengsara membawa nikmat, karena seminar-seminar itu saya jadi bisa bertemu dengan banyak tokoh-tokoh yang selama ini hanya saya temui lewat tulisan-tulisannya saja: Ignas Kleden, Dhaniel Dakidae, Umar Kayam, Adi Sasono, Amin Rais, dll. Dan sejak saat itu tradisi membeli buku selalu saya jalankan hingga saat ini.
Di Jakarta, tempat saya biasa berburu buku adalah Pasar Senen. Di sana berbagai buku lawas dan jarang ada di toko buku biasa, bisa saya dapatkan. Satu contohnya adalah buku luar biasa yang pernah saya dapatkan adalah buku Agama dan Logikakarangan Nazwar Syamsu. Kalau kebetulan sedang ke Bandung, saya selalu mampir ke Palasari. Di pasar buku ini saya bahkan bisa tahan berjam-jam.
Meski banyak membeli buku di Tanah Jawa, sebagai orang Minang saya justru tidak pernah membeli buku di Kota Padang. Apa lagi di kota-kota lain di Sumatera Barat. Meski di beberapa tempat ada namun itu tergolong susah.
Tahun 2007 misalnya, saya pernah berkunjung ke Perpustakaan Pusat Kebudayaan Minangkabau di Padang Panjang, mencari beberapa buku untuk keperluan tulisan. Di sini saya mendapatkan banyak buku-buku luar biasa. Mulai dari sejarah dan budaya Minang, juga buku-buku politik klasik. Saya juga diperbolehkan mem-fotocopy beberapa buku tersebut untuk keperluan riset.
Empat tahun lalu saya juga pernah ke Sari Anggrek di Permindo. Di sini saya mendapatkan banyak buku sejarah Minang, sastra, Islam dan buku anak-anak dari berbagai penerbit yang tidak masuk ke toko buku besar Gramedia. Saya mendapat kumpulan cerita dongeng yang diterbitkan balai pustaka lama di sana. Saya sengaja membeli banyak buku untuk dijadikan hadiah dan oleh-oleh bagi anak-anak sahabat saya. Khusus soal oleh-oleh ini, Alif dan Dara pernah dikomplain oleh teman-teman di sekolahnya karena selalu memberikan kado buku di setiap acara ulang tahun.
Alif pernah bertanya, “Kenapa harus buku terus sih Pa, kan bisa ganti dengan mainan atau yang lain?” Saya sampaikan padanya bahwa buku adalah sumber pengetahuan. Dengan buku kita bisa membaca; dengan membaca kita bisa pintar; dan kalau pintar kita bisa menaklukan dunia.
Namun saat berkunjung ke pasar buku di Padang Teater yang ada di Kota Padang, kesan pertama saya masuk ke kawasan ini sangat seram dan kumuh. Selain sepi dan seperti pasar tua, tempat ini juga jorok karena bercampur dengan beberapa pedagang unggas. Kesan porno bahkan melekat di pasar ini karena lantai yang sama juga dikenal dengan salon plus-plusnya.
“Sekali air besar, sekali tepian berubah!”
Pepatah popular dalam budaya Minang itu mungkin tepat untuk menggambarkan realita di Padang Teater itu. Di tengah rasa shock yang tak terelakkan, sejuta tanya menggerayangi nalar diri ini. Di mana kebudayaan yang adiluhung hasil rintisan para pendiri republik ini? Di mana jejak kebesaran budaya kosmopolit orang Minang selama ini? Apakah air bah sudah menggantikan itu semua.
Yunani dan Romawi tenggelam dari hitungan abad, tetapi hanya beberapa dekade saja tradisi dan budaya di kampung halaman saya redup nyaris tak berjejak. Apakah perubahan begitu cepat memaksa orang-orang untuk mengubah kiblatnya.
Saya ingat cerita Yasraf Amir Piliang di sela-sela bimbingan penulisan tesis semasa di ITB dulu. Penulis buku Dunia yang Dilipatini bercerita, dulu di masa awal kuliahnya di ITB tahun 80-an, jika tengah pulang kampung, pertanyaan dari para tetangga adalah, “Kau belajar seni dan lukisan apa di Bandung?” Tapi hanya beberapa tahun berselang, pertanyaan itu sudah berubah. Pertanyaan yang muncul kini, “Kau pulang bawa mobil apa?”
Time change, people change.Begitu kata orang di sebelah barat sana. Keberhasilan dalam merantau di kampung halaman saya kini hanya memiliki parameter tunggal: materi. Ia bukan lagi ilmu pengetahuan seperti para cerdik-pandai dulu yang mengenalkan spirit republikanisme dan kemanusiaan kepada Urang Awak; atau seperti para imam dulu yang yang pulang dari jazirah Arabia dan kemudian membentangkan Islam di ranah Minang.
Kecewa sudah pasti; sedih apalagi. Melihat orang minang yang dulu terkenal dengan budaya tinggi, menjadi tidak peduli pada sumber ilmu pengetahuan. Bahkan untuk dikomersilkan sekalipun. Toko buku hanya menjadi toko alat tulis, tidak ada buku bacaan, apalagi taman bacaan. Kalaupun ada, itu adalah buku pelajaran sekolah.
Gambaran ini mungkin tidak hanya terjadi di Padang, tapi di banyak kota-kota di Indonesia. Toko buku sekarang hanya Gramedia, itupun seringnya hanya ada di ibukota provinsi. Tapi cerita belum selesai sampai di sini.