Posted on / by / in Catatan

Kapan dan Bagaimanapun, Kawan Tetaplah Kawan!

Takdir sejarah makhluk hidup adalah ia tak bisa berdiri sendiri. Ia akan selalu membutuhkan yang lain. Begitulah kodratnya. Dengan kata lain, setiap makhluk yang hidup akan senantiasa berada dalam keinginan untuk hidup bersama dengan yang lain. Salah satu ekspresi dari hal tersebut adalah perkawanan – sebuah relasi yang berdasarkan pada kepercayaan (trust) satu sama lain, tanpa harus terikrarkan.
Ia berbeda dengan bentuk relasi yang lain. Bertetangga misalnya, yang didasarkan pada kedekatan posisi dalam sebuah lingkungan; atau relasi bisnis yang didasarkan pada logika untung-rugi atau saling menguntungkan; atau relasi kekeluargaan sekalipun, yang didasarkan pada kekerabatan dan hubungan darah.
Perkawanan adalah relasi yang menjadi ruang pengungkap jatidiri kita yang sebenarnya. Ia juga menjadi ruang uji seberapa bisa kita saling mempercayai atau saling memaafkan. Namun di saat yang sama, perkawanan juga menjadi ruang penerimaan bagi segala kelebihan dan kekurangan yang ada dalam setiap diri kita masing-masing.
“Life begins at 40!”
Begitulah kata Walter Pitkin, di mana seseorang memulai sebuah lingkungan baru untuk meninggalkan realitas internal kepada realitas eksternalnya. Mudahnya, akan muncul kesadaran-kesadaran baru tentang sesuatu yang sudah lama dikenalnya sekalipun.
Sementara Soctrates, seperti sudah lama diketahui, melihat hidup sebagai sesuatu yang harus terus dipertanyakan setiap saat untuk mencari atau memberikan makna pada setiap patahannya. “Karena hidup yang tidak pernah dipertanyakan, tidak pantas untuk dijalani,” begitu tandasnya.
Kiranya, hidup memang perjuangan untuk mewujudkan mimpi, baik mimpi masa lalu maupun masa sekarang, bagi sebuah masa depan yang kita gambar untuk menjadi jawaban atas pertanyaan atau keadaan kemarin dan hari ini. Meski mimpi-mimpi itu kerap berubah, sebagaimana beberapa mimpi kita dulu.
Di titik inilah aku tidak bisa lepas dari kesadaran relasi yang pernah kita jalani bersama. Sebagaimana sejarah para nabi dulu yang mengabarkan pada kita tentang bagaimana para sahabat di sekelilingnya selalu memiliki peran dan kontribusinya pada setiap perjuangan yang ditetapkan. Besar maupun kecil, signifikan atau ala kadarnya, semua tetap mendapat apresiasinya.
Kepada kawan seperjuangan dan para sahabat sepergerakan, baik yang masih bersua dan bertegur sapa; atau yang sekadar like dan comments status di media sosial; atau yang jarang bahkan lama tak berjumpa. Kalian semua adalah realitas murni pembentuk roman kehidupan bagi diri ini. Inilah wujud kehidupanku yang sejati karena aku tumbuh, jatuh, dan bangun dalam dinamika dan dialektika kekitaan, baik yang terjalani dulu maupun saat ini.
Tak ada gading yang tak retak; tak ada perkawanan tanpa perselisihan bahkan perkelahian; tak ada persahabatan tanpa pembelajaran. Mungkin kita pernah, bahkan sering, tak sepaham atau sejalan. Itulah kewajaran bahkan keharusan alamiah yang Tuhan gariskan sebagai bagian dari proses pembentuk segala rona dan rupa diri kita.
Aku berusaha dan belajar pada setiap patahan untuk terus membaca ulang, mencari makna, dan mendapatkan hikmah kembali dari semua yang sudah terjalani. Ada suka dan duka, garah dan amarah, pasang dan surut, serta patah dan tumbuh yang hilang berganti.
Kulapangkan dada yang sempit, kupicingkan mata yang nanar, kukempiskan perut yang mulai membuncit untuk tidak ada ruang dendam di dalamnya.
Aku minta ampun seraya bermohon kepada Sang Pencipta semoga memberikan kesempatan, dan para malaikatnya mengirimkan gelombang kasih perkawanan, persahabatan, dan persaudaraan terus-menerus kepada diri ini.
Masih terngiang di ruang pikir dan rasaku ketika seorang kawan dulu bercerita: Saat kita merantau ke negeri orang, keluarga bukan lagi di dasarkan pada ikatan tali darah atau asal kampung, akan tetapi atas dasar perkawanan. Inilah dialektika yang kemudian menjadi realitas yang sejati. Rasa senasib sepenanggungan, merasakan susah dan senang bersama, merumuskan mimpi-mimpi besar, melakukan aksi-aksi eksistensialis bahkan kenakalan-kenalan kolektif, menjadi sel-sel yang membangun kesadaran dan rasa kekeluargaan kita.
Kawanku, sahabatku, dan saudaraku, semua yang terjalani itu adalah substansi dan esensi yang tumbuh menjadi sel-sel yang berurat-berakar dalam denyut nadi dan darah yang mengental di sepanjang hidupku.
Bahkan istriku saja sering kali cemburu pada realitas kekitaan dan menyatakan ingin diperlakukan seperti kawan dan sahabatku dalam kesehariannya.
Kawan dan sahabatku, tentu aku punya banyak alpa dan salah, baik yang langsung maupun tidak langsung; sadar ataupun tidak sadar. Kadang rasa dan rasio, atau laku dan kata, sering kali tak sejalan dalam satu langkah dan badan.
Kawan dan sahabatku, walau sedikit terlambat, kini aku sedang berdiri memasuki usia kepala empat. Ruang bukan garansi untuk berada dalam kebersamaan yang bisa seiring sejalan dalam merealisasikan mimpi di masa depan. Lamanya waktu juga tidak menjadi kepastian bagi kita untuk bisa bertahan pada pilihan yang sama. Namun demikian, dialektika perkawanan dan persahabatan kita sebagai masyarakat manusia adalah sejarah yang bisa mengantarkan kita untuk membangun sebuah peradaban.
Tak ada yang bisa direkayasa untuk menjadi fakta; tak ada yang bisa disanggah jika sudah menjadi nyata. Ini otentik adanya dalam hidup kita. Kita sudah berjalan dalam arah dan arus yang menjadi pilihan masing-masing karena kita adalah manusia-manusia dewasa.
Dengan tangan terbuka dan dada yang lapang kusampaikan permintaan maafku pada kawan dan sahabat-sahabatku sekalian atas laku kekanak-kanakanku di masa lampau; atas kekhilafanku dalam ruang dan waktu dulu sampai sekarang.
Aku 40 tahun sekarang. Ini tanganku, kawan; mana tanganmu, sahabatku. Mari bersalaman! Let’s walk hand in handuntuk menuntaskan tugas sejarah kita. Karena hanya dengan kolektifitas, kita bisa meruntuhkan kesombongan dan keangkuhan peradaban ini.
Salam rinduku tanpa terkecuali!

Tinggalkan Balasan