
Willy Aditya: Revisi UU Pemilu tidak boleh Berbasis Emosional
Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya, sepakat untuk memperbaiki sistem politik melalui revisi UU Pemilu. Namun, ia berharap seluruh langkah dilakukan berdasarkan pendekatan ilmiah (scientific approach), tidak emosional.
“Tentu ini harus gayung bersambut, its time, untuk bersih-bersih. Tapi kata pepatah, jangan mengambil keputusan di saat emosi, ini yang harus kita jadikan basik,” kata Willy, Minggu (7/9/2025).
Hal tersebut ditegaskan Willy mengomentari wacana yang dilempar Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihaza Mahendra, terkait revisi UU Pemilu. Yusril mengatakan revisi untuk membuka sistem pemilu agar partisipasi politik terbuka bagi semua orang, tidak hanya berpihak bagi orang yang punya uang atau selebritis.
“Saya berulang kali mengatakan, keputusan kita harus kita letakkan secara scientific approach on development on policy. Kenapa? karena harus ada riset,” tandas Willy.
Menurut Willy, diperlukan pembaharuan semesta politik secara dalam. Tidak hanya melihat satu sisi, dan mengabaikan sisi yang lain.
“Kalau kita berbicara hanya semata-mata pada satu sisi atau satu variabel, saya mau tanya, apakah seorang Rieke Diah Pitaloka tidak hebat? Maka kemudian politik itu punya dua kaki, apalagi demokrasi,” katanya.
Terkait sistem proporsional terbuka yang kini digunakan, ataupun wacana sistem proporsional tertutup, menurut Willy, kedua sistem tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
“Semua teori sosial politik itu memiliki cacat bawaan. Tinggal yang harus kita lakukan,yang pertama adalan scientific apparoach, kita harus melakukan riset base yang kemudian berbasiskan dialog, harus dialog multi layer. Inilah Deliberative democracy,” tandasnya.
Deliberative democracy, kata Willy, berbasis dialog yang melibatkan semua pihak dari semua lapisan.
“Maka kemudian kita harus mencari benang merah bahwasannya deliberative democracy itu adalah basisnya dialog yang melibatkan political society, civil society, state, dan kelompok kepentingan lainnya utnuk duduk bersama. Karena tidak ada yang sempurna atau paripurna, ada kelemahan dan kelebihannya,” tukasnya.
*sumber : nasdemdprri