Posted on / by Willy Aditya / in Opini

Yang Sayang Dilewatkan dari UU Cipta Kerja

SESUDAH disahkan DPR pada 5 Oktober 2020, Undang-Undang Cipta Kerja mendapatkan gelombang penolakan di berbagai daerah, termasuk Jakarta. Sebagai bagian dari dinamika bernegara dan berdemokrasi, tentu hal tersebut ialah biasa. Kenyataan tersebut justru menunjukkan terjaminnya hak konstitusional warga.

Namun, narasi yang mencolok dari serangkaian gelombang aksi yang berlangsung sehari setelah disahkan, berlokus pada soal-soal relasi ketenagakerjaan dengan pengusaha. Sebuah term klasik sekaligus klise. Namun, inilah yang membuat kaum buruh punya stamina untuk selalu bereaksi.

Sedari awal, buruh memang telah mendapatkan tempat spesial dalam telaah politisideologis yang memungkinkan mereka selalu ambil bagian dalam dinamika sosial dan politik.

Namun, UU Ciptaker bukanlah soal itu semata. Ia bahkan bicara soal kemudahan orang berusaha dan membuka lapangan kerja di Tanah Air. UU ini juga bicara petani, masyarakat adat, UMKM, koperasi, hingga digitalisasi siaran. Semua ini seolah luput dari perhatian banyak kalangan, tertelan isu relasi ketenagakerjaan tadi.

Dukungan, perlindungan, hingga percepatan

UU Ciptaker telah memberikan dukungan terhadap kemudahan berusaha dan investasi online single submission (OSS) yang diakui sebagai upaya untuk meringkas dan mempercepat proses perizinan.

Perizinan berusaha selalu berbasis risiko. Semakin sedikit persyaratannya, semakin rendah risikonya. Persoalan tumpang-tindih peraturan, pungli, pemerasan, politisasi perizinan, dan berbagai masalah dalam hal perizinan, diharapkan bisa hilang dengan pengaturan demikian.

UU Ciptaker memastikan bahwa investasi tidak hanya dinikmati usaha-usaha besar, tetapi juga UMKM dan koperasi. Demikian halnya dengan kemudahan usaha bagi sektor riil dan sektor kerakyatan.

Dalam persoalan agraria, UU Ciptaker juga telah menghilangkan ancaman pidana bagi masyarakat yang tinggal turun-temurun dalam kawasan hutan dan beberapa ketentuan yang mempertimbangkan hak masyarakat adat. Klausul ini setidaknya telah meminimalisasi konfl ik agraria dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang kerap terjadi di banyak wilayah.

Lewat one map policy (OMP), UU ini telah membangun kepastian hukum terkait dengan penggunaan hutan oleh masyarakat. Wujudnya ialah adanya pengaturan tentang perhutanan sosial, berkenaan dengan status kawasan yang telah terlanjut didiami turun-menurun.

Di sektor teknologi informasi, terus tertundanya digitalisasi siaran di Tanah Air, membuat penikmatan terhadap digital dividen terus tertunda. Pengembangan usaha digital dari sisi konten ataupun penyelenggara siaran terhambat. Kabar baik pun datang. UU Ciptaker telah memastikan analog switch off (ASO) segera dilakukan, paling lambat dua tahun setelah UU ini diundangkan.

Pendidikan, pers, dan tenaga kerja tetap terjaga

Adapun terkait dengan isu paling sensitif, yakni ketenagakerjaan. Sejak awal, klaster ini telah didesak untuk dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja. Dalam prosesnya, ada tuntutan yang sepenuhnya bisa diterima dalam rapat, ada yang disepakati dengan penyesuaian. Namun, ada juga yang harus direlakan untuk mengikuti rancangan awal.

Sekadar contoh, pasal hak cuti haid, menikah, melahirkan, keguguran, misalnya, berhasil dipertahankan sesuai UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003. Demikian juga ketentuan tentang penggunaan tenaga kerja asing untuk melindungi tenaga kerja Indonesia. Demikian juga dengan sanksi ketenagakerjaan, upah minimum padat karya, dan penyesuaian aturan tenaga alih daya sesuai putusan Mahkamah Konstitusi.

Berkenaan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), upaya keras telah dilakukan untuk mempertahankan ketentuan sesuai UUK No 13 Tahun 2003. Namun, dalam perjalanannya, ia harus dikompromikan dengan permintaan agar jangka waktu diatur berdasarkan peraturan pemerintah.

Dengan sangat menyesal, ketentuan UUK 13/2003 berkenaan dengan jumlah pesangon tidak dapat dipertahankan. Pemerintah meminta agar ketentuan 32 kali diubah menjadi 25 kali dan memperoleh dukungan argumentasi dari fraksi lainnya. Demikian juga dengan upah minimum sektoral yang harus menyesuaikan dengan kondisi yang terjadi saat ini dinilai menghambat investasi dan usaha.

Dalam soal pers dan pendidikan, berulang-ulang telah didesak agar soal ini dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa nilai-nilai kependidikan tidak boleh berubah menjadi bisnis semata dan pers pun tidak boleh menjadi medan pertarungan investasi yang brutal.

Proses pembahasan

Sejak mula pembahasan, DPR mengundang bukan hanya ahli atau pakar dalam setiap proses pembahasan, melainkan beragam organisasi masyarakat sipil dengan konsentrasi advokasi yang spesifi k pun turut diundang. Organisasi seperti serikat pekerja, serikat profesi, dan organisasi sejenis turut dilibatkan.

Sedari awal komitmen telah ditetapkan untuk memperjuangkan semua kepentingan, khususnya mereka yang paling lemah. Namun, perjuangan bukan hanya hari ini. Masih panjang perjalanan yang harus ditempuh untuk memajukan bangsa ini. Dalam perjuangan, terkadang jalan tengah harus diambil. Bagaimanapun langkah bijak selalu dibutuhkan guna mempertemukan titik kesepakatan bersama.

Tidak semua bisa tercapai memang, tetapi masih banyak klausul di UU Ciptaker yang memberi banyak manfaat bagi bangsa. Kesempatan memiliki kebijakan satu peta, perlindungan bagi masyarakat yang tinggal di kawasan hutan, kemudahan perizinan kapal bagi nelayan kecil, kemudahan bagi pengusaha kecil yang ingin memulai usaha. Lalu, kemudahan mengurus sertifi kasi halal, berbagai fasilitas bagi UMKM, tentu juga menjadi pertimbangan untuk akhirnya tetap menerima UU ini dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada.

Menyatakan menolak di ujung dan mengambil keuntungan politik dalam situasi seperti ini bukan hal yang sukar. Namun, menghindar dari medan perjuangan bukanlah sikap kesatria. Rekaman proses, video-video, dan naskah DIM dalam rapat menjadi bukti autentik konsistensi kami.

Tulisan ini dimuat di mediaindonesia.com Jum’at, 9 Oktober 2020

Tinggalkan Balasan