Posted on / by / in Opini

Politik Identitas Sebagai Antitesa Neoliberalisme

Buya Syafii Maarif dalam Nurcholish Madjid Memorial Lecture tentanf Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Indonesia, pernah mengajukan pertanyaan. “Apakah politik identitas ini akan membahayakan posisi nasionalisme Indonesia di masa depan? Jika berbahaya, kira-kira dalam bentuk apa, dan bagaimana cara mengatasinya?”

 Kondisi Kongkrit yang Melahirkan Aksi Kongkrit

Neoliberalisme tidak hanya berangkat sebagai suatu mahzab ekonomi namun sebagai sistem sosial. Ia juga menawarkan suatu kerangka politik yang dikenal dengan politik kuantitatif atau politik pencitraan yang kini menjadi mainstream baru dalam ranah politik dunia kontemporer tak terkecuali Indonesia. Kemenangan mahzab ini seolah-olah menjadi suatu keniscayaan yang tak dapat dipungkiri oleh masyarakat politik di Indonesia. Tengok saja, kemenangan Partai Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono dalam kontestasi lima tahunan kemarin adalah pesta pora kemenangan politik kuantitatif (pencitraan).

Neoliberalisme menjadikan politik hanya sebagai deretan angka-angka dan manusia hanya sebagai pemilih yang dihitung one man, one vote. Karena manusia menjadi gundukan digit maka substansi tidaklah menjadi penting yang terpenting adalah bagaimana menderetkan angka menjadi bilangan yang menang dalam papan skor. Inilah kuantitatif politik yang kemudian sangat bersandar pada kekuatan politik kulit bawang (bubble politic).

Situasi ini justru sangat bertentangan dengan politik dalam pemaknaan terhadap relasi sosial (sosiologis) dengan lingkungan dan masyarakat, kesadaran untuk bertindak secara individual dan kolektif (antropologis), cita-cita tentang suatu bangunan individu yang dinamis dan masyarakat yang kompleks (psikologis), serta suatu relasi kekuasaan yang melahirkan dinamika masyarakat dan kesenjangan sosial (ekonomi-politik).

Dimana semua elemen dasar ini menjadi suatu yang saling melengkapi, manusia menjadi suatu yang sangat kompleks, berkehendak (eksistensi), dan partisipasi inilah yang menjadi kekuatan politik kualitatif. Politik kualitatif inilah yang kemudian membangun nilai (value) yang berbasis dari identitas-identitas yang mempengaruhi suatu dialektika masyarakat.

Dalam beberapa diktum politik, mahzab politik kuantitatif memiliki spirit bahwa musuh terbesar mereka adalah politik kualitatif yang bertendensi politik identitas atau yang biasa dikenal sebagai politik aliran. Medan tempur bagi mahzab kuantitatif adalah floating mass dan kekosongan ideologi. Sementara kekuatan politik kualitatif berbasis politik identitas adalah keteroganisiran ide (ideologi perjuangan sampai pada praktek yang terstruktur).

 Politik Identitas dan Wajah Pembebasan Kemanusiaan

Beberapa negara pasca otoriatarian mengalami fase seperti Indonesia. Amerika Latin di masa transisi demokrasi juga dilanda oleh gemuruh politik pencitraan yang ditandai dengan kemenangan artis, tentara, dan birokrat sebagai presiden mereka. Tetapi lambat laun, proses ini tergerus karena mahzab ini ibarat kulit bawang yang membungkus kulitnya sendiri; tidak subtantif dan miskin perubahan ke arah perbaikan.

Politik identitas dalam tradisi politik Indonesia, dalam banyak perspektif, dijelaskan telah terkubur bersamaan dengan runtuhnya rezim politik Soekarno. Politik identitas yang bertendensi ideologis (Islamisme, Sosialisme, Marhaenisme) diharamkan oleh kekuasaan otoritarian Orde Baru. Bahkan di masa Orde Baru pulalah sebagai bangsa kita mengalami deiologisasi, depolitisasi dan deorganisasi.[1]

Runtuhnya rezim otoritarian Orde Baru 32 tahun kemudian, tak ubahnya seperti runtuhnya Federasi Soviet dan Tembok Berlin. Arus besar demokratisasi di Indonesia saat itu telah membuka spektrum bagi kemunculan kembali politik identitas. Karena kemisninan ideologi (piranti perjuangan) seperti cita-cita bangunan masyarakat, metodelogi perjuangan, dan model pelembagaannya.

Dalam konteks Indonesia, kehadiran politik identitas adalah antitesa dari warisan politik yang sentralistis dan hegemonik selama Orde Baru berkuasa. Kemunculan politik identitas secara massif direpresentasikan dengan munculnya beberapa kekuatan politik yang mengusung simbol dan ideologi Islam. Realitas objektif tersebut tidak terlepas dari memori kolektif massa yang dekat dengan Islam, karena beberapa tendensi politik identitas lain menjadi tabu bahkan ‘diharamkan’ untuk direvitalisasi.

Realitas politik Indonesia sendiri tidak jauh berbeda dengan revitalisasi politik identitas di Amerika Latin. Bila ditilik dari latar kemunculannya, aliran politik ini lahir dari garangnya sistem neoliberalisme yang memperparah kesenjangan kelas antara para pebisnis besar dengan kalangan buruh, tani, dan kalangan pengusaha kecil. Di sejumlah negeri Amerika Latin yang ditandai dengan banyaknya masyarakat suku Indian, segregasi itu juga berkait dengan pembagian masyarakat berdasar etnis. Kemakmuran para imigran Spanyol yang tinggal di dataran rendah sangat kontras dengan kaum Indian dan Mestizo (campuran) yang banyak tinggal di dataran tinggi (Altiplano).[2]

Laporan Bank Dunia tahun 2005 juga mengakui bahwa rata-rata angka kesenjangan antara lima penduduk terkaya dengan penduduk termiskin di seluruh Amerika Latin mencapai angka 30 berbanding 1. Di Bolivia, angka ini bahkan mencapai 90 berbanding 1, dan khusus di wilayah pedesaan yang banyak dihuni suku Indian, angkanya berkisar 170 berbanding 1 (Leila Lu, Upside Down World, 7/12/2005).

Tidaklah mengherankan jika situasi tersebut memunculkan ”perlawanan” dari sejumlah pemimpin dari keturunan Indian, seperti Evo Morales di Bolivia dan Rafael Correa – meskipun dia sendiri keturunan Spanyol, tetapi dekat dengan kalangan Indian – yang menggabungkan apa yang disebut sebagai indigenismo (paham yang mendorong emansipasi penduduk asli suku Indian yang mayoritas) dengan sosialisme atau nasionalisme kerakyatan.

Dalam situasi inilah politik identitas menjadi suatu “reaksi natural” terhadap suatu situasi yang seringkali disebut sebagai proses aleanasi, baik terhadap realitas sosial ekonomi maupun sosial budaya. Ini artinya ekspresi kelahiran politik identitas tidak selalu sebagai respon negatif. Ini dibuktikan oleh ekspresi politik aliran di Amerika Latin dalam konteks perubahan ke arah yang lebih baik namun tetap dalam kerangka yang formal-konstitusional. Bahkan politik identitas di Amerika Latin menegaskan posisinya untuk melakukan revitalisasi konstitusionalnya dengan tetap menancapkan landasan sejarah pembangunan negara bangsa.

 Restorasi Pancasila sebagai Ideologi Kebangsaan

Indonesia merdeka bukan suatu negara yang berdiri di atas suatu golongan, agama, atau suku tertentu saja. Gagasan tentang kesatuan bangsa ini dibakukan dalam dasar negara kita, Pancasila. Gagasan ini lahir dengan melihat kenyataan Indonesia memiliki masyarakat yang pluralis: multi etnis, multi kultur, multi religi, dan multi bahasa. Walau di satu sisi lain pluralisme berpotensi menimbulkan masalah relasi identitas dan sosial, takdir sejarah bangsa yang pluralis dapat dipandang sebagai kekayaan. Pluralisme adalah suatu keniscayaan (given) yang memiliki keindahan dalam hidup manusia yang diberikan oleh Tuhan.

Soekarno, dalam pidato dimuka Sidang Umum Persikatan Bangsa Bangsa tahun 1960 yang berjudul Membangun Dunia Kembali menegaskan bahwa:

“Sesuatu” itu kami namakan “Pancasila”. Ya, “Pancasila” atau Lima Sendi Negara kami. Lima Sendi itu tidaklah langsung berpangkal pada Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence. Memang, gagasan-gagasan dan cita-cita itu, mungkin sudah ada sejak berabad-abad telah terkandung dalam bangsa kami. Dan memang tidak mengherankan bahwa faham-faham mengenai kekuatan yang besar dan kejantanan itu telah timbul dalam bangsa kami selama dua ribu tahun peradaban kami dan selama berabad-abad kejayaan bangsa, sebelum imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan nasional. Apakah Lima Sendi itu? la sangat sederhana : pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, kedua Nasionalisme, ketiga Internasionalisme, ke-empat Demokrasi dan kelima Keadilan Sosial,

Pancasila bukanlah landasan kebangsaan dalam arti sempit. Ia adalah sesuatu yang yang mampu menjadi perekat identitas bangsa yang tertindas sekaligus perekat keragaman agama, budaya, dan etnis – sesuatu yang dikehendaki oleh satu bangunan nation state.

Soekarno dalam pidato kelahiran Pancasila telah mampu memadukan kekuatan nasionalisme, humanisme, dan demokrasi permusyawaratan dengan memegang teguh keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan cara itulah, Soekarno berhasil memberlakukan hidup bertolerasi dalam suatu negeri kepulauan yang multi kompleks yang dengan mayoritas kaum muslimin.[3]

Di masa Orde Baru, Pancasila dan persatuan Indonesia melahirkan represi dan ancaman yang berimplikasi pada distorsi kebajikan luhur Pancasila. Persatuan yang mengandaikan perbedaan dan demokrasi diubah lebih sebagai persatuan berdasarkan kehendak yang terpusat pada sistem kekuasaan. Akibatnya, Pancasila berubah: bukan lagi sign of unity melainkan sign of authority (simbol kekuasaan).[4]

Hal ini kemudian menggiring negara-bangsa kita—yang sebelumnya sudah sarat irasionalitas politik akibat parahnya warisan dan rangkaian distorsi politik dan/atau penyalahgunaan dibawah Orde Baru—ke dalam kubangan patologi-politik. Dalam keadaan seperti ini, hukum-hukum politik dan evolusi normal demokrasi bukan hanya tidak berlaku, melainkan juga menjadi kacau atau jungkir-balik. (Pabottingi, 2007)

Potensi konflik yang laten di masa represif Orde Baru mulai meletup satu-persatu disaat Indonesia menjalankan sistem demokrasi. Demokrasi dimaknai sebagai ruang kekebasan berekspresi bagi politik-politik aliran yang tersembunyi dan dibungkam di masa represif Orde Baru. Persoalan krusialnya adalah kehadiran politik aliran di masa demokrasi justru bervis a vis dengan Pancasila sendiri. Realitas tidak dapat terhindari karena penyelewengan besar-besaran yang dilakukan Orde Baru terhadap praktek ideologisasi pembangunanisme yang berlabel Pancasila.

Massifitas politik identitas yang bersemangat sektarian justru mangarah pada anti-Pancasila, anti-demokrasi, dan anti-pluralisme. Kondisi ini diekspresikan melalui bermunculan Peraturan Daerah bertendensi syariah di era otonomi daerah yang dipandang sebagai antitesa heavy state di masa represif Orde Baru. Fenomena bom bunuh diri, aksi sepihak, kekerasan antar kelompok kepercayaan dengan simbol agama mengalami grafik yang signifikan mengancam kehidupan demokrasi. Revitalisasi politik identitas kekeluargaan (klaintilisme) dimana suatu daerah dibangun dan dikuasai oleh keluarga atau klan tertentu karena merasa berhak atas suatu sejarah masa lalu.

Situasi di atas dipertajam dengan realitas kekuasaan yang tak garang korup-nya dibanding kekuasaan represif sebelumnya sehingga krisis kepercayaan menjadi suatu yang tal terelakkan. Ketergantungan hutang luar negeri, pengangguran dan degradasi kualitas kehidupan dan lingkungan, serta politik kuantitatif-pencitraan menjadikan Indonesia di masa demokrasi tidak memiliki karakter kebangsaan yang jelas dan tegas.

Pada kondisi kekinianlah, tugas sejarah generasi sekarang untuk mengkorespondensikan sejarah bangsa dengan succes story yang bisa menginspirasi kemajuan. Belajar pada pengalaman kebangkitan politik aliran di Amerika Latin sebagai antitesa fundamentalisme pasar dan pencapaian demokrasi Indonesia di masa demokrasi parlementaris dan demokrasi terpimpin maka Pancasila menjadi suatu spirit yang memayungi semua perbedaan.

Pancasila sebagai ‘common value’ dan ‘common consensus’, sejatinya bukan lahir dari semangat yang statis dan mistis. Pancasila lahir sebagai proses yang natural terhadap dialektika masyarakat Indonesia yang plural secara ideologi, suku, dan agama. Soekarno mengakui bahwa nasionalisme dan identitas kebangsaan kita justru akan makin kuat dan dikokohkan manakala kita berhasil mengukuhkan persatuan dalam perbedaan, demokrasi dan rasa solidaritas kebangsaan. Tanpa ketiganya, Indonesia yang bersatu tidak akan mungkin tercapai hingga saat ini. Inilah yang kemudian dikokohkan menjadi sendi pendirian republik modern hingga sekarang.[5]

Dalam situasi dan kondisi kekinian Indonesia, yang menjadi titik sentral untuk menjawab tantangan zaman tidak hanya restorasi nilai-nilai luhur Pancasila namun juga komitmen besar para masyarakat politik, masyarakat sipil, alim ulama, tokoh masyarakat, dan elemen-elemen bangsa lainnya atas dasar common interest sebagai role of game. Tendensi politik aliran sejatinya merupakan suatu keniscayaan namun sejauh mana eksistensi politik aliran tidak melemahkan bangunan dasar demokasi, Pancasila dan pluralisme. Tetapi menjadi suatu kekayaan dan keniscayaan untuk memperkaya Pancasila dan memajukan peradapan manusia Indonesia yang ditakdirkan bersuku-suku, beragam agama dan berbeda pandangan politik

23 Mei 2011

[1] Willy Aditya, Filsafat Politik Soekarno, Gadjah Mada, 2003

[2] Budiman Sudjatmiko, Kemiskinan Jalan Keadilan di Amerika Latin, Kompas, 18 Desember 2006

[3] Peter Dale Scott, Peringatan 100 Tahun Soekarno

[4] Robertus Robet, Revitalisasi Politik, 2006

[5] Imran Hasibuan, Pancasila dan Masalah Kita Hari Ini, PDI Perjuangan, 2009

Tinggalkan Balasan