Nalar Kontestasi di Era Post Electability
Segala sesuatu ada masanya. Begitu sebuah kalimat bijak mengatakan. Demikian juga dengan dominasi logika elektabilitas dalam arena kontestasi politik. Logika yang telah menggiring kesadaran para aktor politik untuk membangun citra positif di tengah kesadaran publik ini tengah berada di senjakalanya. Kenyataan ini setidaknya dilandasi oleh beberapa fakta di beberapa ajang kontestasi politik pada lima tahun belakangan ini.
Setidaknya dimulai pada Pilpres 2014 yang lalu, pendekatan politik kuantitatif mendapatkan koreksinya. Kala itu, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang menjadi calon presiden yang diusung oleh lima partai politik adalah calon yang sangat kuat. Angka elektabilitasnya bahkan di atas 60 persen, angka yang sangat meyakinkan. Sementara lawan terkuatnya hanya di kisaran angka 20 persen saja. Namun saat tabloid Obor Rakyat terbit, secara drastis kedua angka itu bergerak menuju kesetimbangan secara meyakinkan. Bahkan kabarnya, di detik-detik akhir jelang hari pencoblosan, perbedaan angka keduanya hanya berselisih nol koma saja.
Kehadiran Obor Rakyat waktu itu benar-benar menjadi virus yang begitu cepat merasuki nalar khalayak. Meski jauh dari kategori terpercaya dan kredibel, media abal-abal itu mampu mengubah pandangan dan keyakinan pemilih terhadap sosok Jokowi. Hanya dengan menyebut bahwa Jokowi anak seorang PKI dan keturunan Cina dalam beberapa edisi saja, angka elektabilitasnya tergerus hingga dua digit – bahkan hingga akhirnya sama-sama di atas angka 40 persen. Hilang segala apresiasi publik terhadap kinerja yang ditorehkannya, baik semasa di Solo maupun di Jakarta.
Demikian juga pada momen Pilkada DKI 2017. Angka kepuasan publik yang mencapai angka 70 persen tidak mampu mengantarkan Gubernur Petahana Basuki Tjahaja Purnama kembali memimpin Ibu Kota Jakarta. Segala prestasi dan terobosan-terobosannya luluh lantak dihajar narasi “penista agama”. Pepatah ‘kemarau setahun dihapus hujan sehari’ seolah berlaku bagi gubernur yang biasa disapa Ahok itu.
Demikian juga di kasus Pilkada Jabar tahun ini. Isu-isu yang menaikkan sentimen sektarian begitu deras menerjang kubu Ridwan Kamil. Meski mampu melalui rintangan tersebut namun tetap saja, pola atau modus pembangunan sentimen emosional masih menjadi pilihan lawan politik untuk melawan narasi prestasi dan kompetensi. Tidak hanya itu, angka-angka hasil pencoblosan di hari H pun melenceng jauh dari hasil survei.
Dari sejumlah fakta tersebut kita bisa membaca bahwa saat ini tengah terjadi pergeseran kecenderungan. Jika dulu sejak tahun 2004 hingga 2012 politik citra menjadi arus utama dalam jagat diskursus politik kontestasi maka kini muncul politik emosi – dengan tetap berhadapan dengan politik gagasan sebagai nyanyian sunyi. Singkatnya, angka elektabilitas kini tidak menjadi jaminan kemenangan seorang kandidat. Angka keterpilihan hanya menjadi panduan atau peta bagi para kelompok politik untuk menyusun strategi dan taktik politiknya.
Subyektivitas: realitas post truth
Di era yang disebut terakhir ini kebenaran bahkan tidak lagi sekadar relatif namun hampir nihil. Semuanya hanya berdasar siapa yang menyatakan. Jika yang menyatakan ustad A atau media B maka itulah kebenaran. Jika yang menyatakan kyai C atau media D maka itu bukan kebenaran. Atau setidak-tidaknya, kebenarannya masih meragukan. Ia masih harus melakukan konfirmasi terhadap ustad dan media panutannya.
Inilah yang disebut subyektivitas: sikap atau penilaian yang digantungkan pada atau karena subyek tertentu. Dalam konteks menemukan kebenaran, subyek tertentulah yang dianggap otoritatif menyatakan kebenaran, bukan kenyataan yang ada.
Di dalam kesadaran semacam inilah berbagai narasi dikembangkan oleh kelompok politik untuk mempengaruhi khalayak. Kelompok politik berlomba-lomba mendekati sosok atau kelompok yang dianggap memiliki otoritas sebagai “sumber kebenaran” itu. Semuanya dalam rangka meraih sekaligus meneguhkan dukungan massa.
Dalam kasus Obor Rakyat, sumber kebenarannya adalah media. Dalam kasus 2017, sumber kebenarannya adalah “ulama” – atau lebih tepatnya para pembawa simbol agama. Sementara di kasus Pilkada Jabar sumber kebenarannya adalah desas-desus yang mengalir-menjalar di media sosial sempit: whatsApp, BBM, SMS, dan sejenisnya. Semua informasi yang dimuntahkan oleh sumber-sumber tersebut kemudian menguasai alam bawah sadar banyak orang hingga menganggapnya sebagai petunjuk untuk memilih.
Tidak penting lagi apakah seorang kandidat memiliki integritas moral yang tinggi atau program kerja yang terukur; tidak peduli apakah seorang pejabat telah melakukan kerja dan prestasi, membangun kesejahteraan, atau laku kebajikan lainnya. Di tengah fakta kaum Muslim sebagai mayoritas di Indonesia, narasi “musuh agama”, “kafir”, “tidak didukung ulama”, atau “menista agama”, akan menjadi pilihan untuk memenangkan kontestasi. Politik identitas menjadi tak terelakkan. Politik kebencian menjadi manifes. Kenyataan yang tentu tidak sehat bagi kehidupan politik kita.
Kanal media sosial
Kiranya, kemenangan Donald Trump menjadi Presiden AS ke-45 menjadi succes story praktik politik semacam ini. Praktik politik kebencian yang digunakan olehnya, menjadi yang pertama dalam sejarah kemenangan seorang presiden di negeri adidaya itu.
Namun itulah kenyataannya. Sentimen yang dibangun Trump dengan menyentil isu imigran, sentimen terhadap kaum Muslim di sana, bekerja dengan optimal. Padahal, angka elektabilitas dalam survei-survei sebelum masa pemilihan menempatkan Trump di bawah Hillary Clinton.
Di sini, peran dan posisi media sosial harus menjadi penekanan. Mengapa? Karena tidak mungkin politik kebencian atau fitnah diumbar di media umum. Bagaimana pun, ruang publik memiliki nilai dan kesadaran adiluhungnya. Oleh karena itu, politik semacam ini bekerja melalui kasak-kusuk di wilayah antar pribadi yang dimediasi oleh media sosial, terutama media sosial sempit seperti disebut di atas.
Keberadaan media sosial semacam ini bahkan telah menjadi medan perebutan pengaruh yang sesungguhnya. Bahkan The Economic Times pernah melaporkan bagaimana aplikasi WhatsApp kini menjadi andalan untuk menggaet suara pemilih dalam praktik di berbagai belahan dunia.
Di dalam platform tersebut berbagai jenis pesan diproduksi dan didiseminasikan melalui platform ini. Dan salah satu yang paling “laris-manis” adalah narasi politik kebencian. Di Tanah Air, narasi semacam ini sering dibalut dengan pesan-pesan keagamaan.
Disadari atau tidak, kenyataan ini telah membawa kehidupan politik nasional tidak jauh dari nalar semacam ini. Contoh paling dekat dengan kita saat ini adalah penentuan calon wakil presiden dari masing-masing kandidat. Semua saling menunggu dan hanya mendasarkan calonnya pada kategorisasi yang “aman” dari kemungkinan menjadi sasaran empuk fitnah atau praktik politik kebencian, bukan kapasitas maupun kompetensi. Sentimen kelompok dan golongan pun lebih ditonjolkan. Sementara narasi kapasitas, komptensi, integritas, jauh tersisih dipojokan kesadaran bangsa ini.
Sebuah keadaan yang menyedihkan, sebenarnya. Namun inilah nalar politik kita. Nalar di mana politik lebih dominan dimaknai sebagai ajang kontestasi semata. Sialnya, ajang kontestasinya pun jauh dari kata fairplay dan malah terjerembab ke dalam kubangan kebencian.
6 Agustus 2018