Basuki, Demokrasi, dan Nabi Khidir
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok seperti tak ada habisnya. Setelah kisruh Al-Maidah 51, yang sempat membuat Jakarta mencekam oleh massa itu tidak hanya sekali muncul lagi kehebohan baru. Dia digugat oleh banyak pihak karena dianggap telah mengancam seorang tua yang terpandang, Ketua Umum MUI, Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH Ma’ruf Amin. ‘Ancaman’ itu disampaikannya saat sidang ke-8 kasus dugaan penistaan agama yang melilit dirinya. Saat itu, dengan suara bergetar karena menahan emosi, Basuki menilai sang kiai telah memberikan kesaksian palsu karena tidak mengakui pernah menerima telepon dari mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 7 Oktober 2016. Padahal, bukti begitu nyata bahwa yang bersangkutan memang pernah dikontak oleh Presiden ke-6 RI tersebut.
Liputan6.com menyimpan fakta itu hingga kini. “Percayalah, sebagai penutup, kalau Anda menzalimi saya, yang Anda lawan adalah Tuhan yang Mahakuasa, Maha Esa. Saya akan buktikan satu per satu dipermalukan. Terima kasih,” demikian ucapan Ahok mengakhiri tanggapannya atas kesaksian Kiai Ma’ruf. Oleh berbagai kalangan, terutama kaum nahdiyin, ucapan ini dianggap tidak pantas disampaikan Ahok kepada figur yang menempati posisi paling tinggi di organisasi Islam terbesar di Indonesia. Tidak kurang seorang Mahfud MD, mantan Ketua MK, turut menggugat cara Ahok berbicara kepada sang kiai. Anshor dan Banser juga menyatakan keberatannya dan mengancam akan mengerahkan massa jika dalam waktu tiga hari suami Veronica Tan ini tidak meminta maaf.
Tidak ketinggalan, para lawan politik Ahok langsung menggoreng santapan empuk nan lezat ini hingga muncul tagar #MendadakNU di media sosial. Beruntung, baik Ahok dan Kiai Ma’ruf langsung saling memaafkan sehari kemudian. Semua itu terjadi karena satu hal saja, kelugasan seorang Ahok. Ia lugas dalam berpolitik, ia lugas dalam memimpin, dan terutama ia lugas dalam berbicara. Soal kelugasan ini, sebagian ada yang tidak suka, atau dipandang sebagai kekurangan sang petahana Gubernur DKI, bahkan ada yang menggugatnya sehingga harus dienyahkan dari jagat politik.
Pasalnya, menurut pandangan yang justru keluar dari seorang yang mengaku penganut liberalisme ini, Ahok terlalu
berbahaya bagi Republik yang masih ringkih seperti Indonesia. Sepak terjangnya sering membuat kaum intoleran
menjadi menguat. Karena itu, rawan bagi negeri ini jika dia terus dibela dan dibiarkan menjadi pejabat publik.
Namun, tidak kurang juga yang mendukungnya. Bagi kalangan ini, kelugasan Ahok ialah antitesis dari sikap munafik kebanyakan pejabat publik dan tokoh masyarakat saat ini. Tidak hanya itu, Ahok juga banyak memberikan kerja dan bukti tanpa harus banyak berkata, apalagi menebar citra. Toh, publik juga tetap banyak yang mendukungnya. Di atas itu semua, dia adalah individu sekaligus warga yang punya hak untuk menjadi dirinya sendiri.
Kehendak zaman
Namun, itulah mungkin konsekuensi dari alam yang bernama demokrasi. Semua boleh memainkan peran dan lakon sesuai dengan keinginannya masing-masing. Semua setara dan memiliki hak yang sama di dalamnya. Mengapa bisa demikian? Karena demokrasi adalah sebuah sistem yang paling volaid (cair) bagi masyarakat modern, dan juga negara modern. Sebagai sebuah sistem bersama, demokrasi memberikan kebebasan bagi para penghuninya untuk melahirkan apa saja; seorang diktator sekalipun. Obama lahir dari sistem demokrasi, tapi Hitler juga lahir dari sistem demokrasi. Demikian juga Donald Trump, fenomena Amerika hari ini, lahir dari negara yang katanya dedengkot demokrasi. Pemimpin negara-negara Amerika Latin, lahir dan tumbuh di alam demokrasi. Bahkan terorisme dan radikalisme hidup subur di dalamnya. Osama bin Laden hidup di Amerika, Hizbut Tahrir besar di Inggris.
Sedemikian terbukanya demokrasi hingga fenomena seperti LGBT hanya mampu marak dalam ruang bernama demokrasi, lengkap dengan para penentangnya. Jika merunut dari awal kumunculannya, demokrasi memang lahir dari sebuah kehendak bersama warga kota. Mereka ingin ada kesetaraan untuk bersuara (freedom of expression), bukan hanya para aristokrat atau
elite berkuasa. Mereka ingin keputusan diambil bersama, bukan oleh seorang raja semata. Kehendak ini kemudian menjadi kehendak manusia di mana-mana hingga kemudian menjadi kehendak zaman yang semakin terbuka untuk merayakan kebebasan (kehendak bebas) manusia (warga kota) di banyak belahan dunia.
Demokrasi selalu lahir bukan karena sebuah ketukan palu kebijakan dari pemegang otoritas tertentu, melainkan karena benturan zaman (dialektika). Lihatlah demokrasi di Amerika, Eropa, Indonesia sendiri, dan yang teranyar adalah negeri-negeri di Arab (Arab Spring). Ia lahir dari kehendak bersama warganya, bukan hadiah atau kebijakan para penguasanya. Namun demikian, sebagai sebuah sistem terbuka yang dinamis, demokrasi harus memiliki jangkar sebagai mekanisme pertahanan diri sebab demokrasi itu ibarat orang yang baik hati. Saking baiknya ia sampai mau memberi ruang kepada pihak yang menggugatnya, bahkan yang ingin membinasakannya.
Oleh karena itu, lahirlah perangkat bernama hukum. Namun tidak cukup hanya itu, demokrasi juga harus memastikan transisi sebuah kekuasaan berjalan damai dari satu kelompok kepentingan kepada kelompok kepentingan lainnya. Dalam momen transisi kekuasaan, kerap muncul ekspresi-ekspresi semisal primordialisme, sektarianisme, politik identitas, seperti yang marak belakangan ini. Ia memang menjadi keniscayaan yang tumbuh bersamaan dengan maraknya kebebasan. Namun, kenyataan tersebut juga bisa menguat menjadi ekstremitas sikap hingga memunculkan identitas mayoritas dan minoritas yang berkelindan menjadi komoditi politik.
Fenomena terakhir ini tidak pernah ditemui dalam masa sosiodemokrasi di era Bung Karno ataupun era demokrasi terbatas Orde Baru. Di dua masa itu tidak ada gugatan terhadap asal-usul (SARA) terhadap seseorang yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau pemerintahan. Oleh kalangan semacam itu demokrasi kerap berada dalam ancamannya yang nyata.
Martir demokrasi
Di titik ini demokrasi kerap membutuhkan martir agar ia tetap hidup, bahkan semakin maju dan berkualitas. Alih-alih harus disingkirkan, sesungguhnya Basuki bisa disebut sebagai martir itu. Sebagai calon gubernur, dia tengah menguji bangsa ini, khususnya warga DKI, apakah mampu berdemokrasi sebagaimana mestinya. Basuki hari ini ialah manifestasi demokrasi itu sendiri. Narasi Basuki hari ini bukanlah soal menang atau kalah dalam pilkada. Kehadirannya menjadi semacam ‘utusan zaman’ yang tengah menjadi penyeimbang ekosistem bernama demokrasi. Bukan sedang menyamakannya tentu saja, tapi kehadiran dia dalam gelanggang politik mengingatkan kita pada sosok Nabi Khidir.
Kepada Musa, Khidir memberi pelajaran hidup dengan cara yang tidak normatif. Dia membocorkan perahu yang justru sedang dinaikinya bersama Musa beserta banyak orang. Tanpa banyak cakap, tiba-tiba dia membunuh seorang anak kecil. Terakhir, Khidir meminta Musa untuk memperbaiki sebuah rumah di perkampungan yang justru penduduknya tidak ramah kepada mereka berdua. Demikian juga Ahok. Dia seperti sedang memberikan pembelajaran bagi bangsa ini dengan serangkaian gugatan-gugatannya, baik secara langsung maupun tidak, terhadap praktik-praktik yang mencederai demokrasi. Praktik- praktik diskriminasi, kriminalisasi, politisasi agama dan ulama, dan seterusnya, digugat dengan keteguhan sikapnya. Dengan bacotnya yang bawel dan menjengkelkan berbagai pihak, dia banyak mengungkap kebenaran-kebenaran, sebagaimana Khidir yang menjengkelkan Musa, tetapi banyak memberinya pelajaran.
Tulisan ini dimuat di Media Indonesia, 10 Februari 2017