Berpuisilah Dara Witaku
Sedari dalam kandungan, kubacakan ayat suci, kisah, atau puisi di perut ibumu. Walau nadaku buta, tapi kata-kata tetap mengalir sebagai pesan cinta padamu.
Kita memang sering membaca buku cerita bersama, tapi dengan sadar aku tidak mengajarkan a,i,u,e,o padamu. Kubebaskan alam pikirmu berlayar seluas samudra dan kulepaskan imajimu menari-nari di ruang mimpi setinggi bintang di langit.
Aku ingin mengajakmu berpuisi, Daraku!
Karena kata bisa menjadi bejana rasa yang paripurna, dan bahasa adalah doa yang mengikatkan setiap orang tua pada anaknya.
Aku membacakan puisi untukmu Dara!
Bukan bernyanyi seperti dalam tradisi Batak, sebagaimana opungmu mendendangkan lagu sebagai pengantar tidurku, dulu.
“Papaku, kaulah yang mengantarkan aku sekolah setiap pagi.Kaulah, yang mengajari aku berpuisi.Papaku, aku cinta padamu!”
Itulah sebait puisi yang kau bacakan padaku. Dengan penuh bangga dan suka cita aku mendengarkan kata-kata mengalir dari ruang pikir dan rasamu. Dengan cepat kau merangkai kata demi kata, lalu menalinya pada ruang dan waktu yang ada di sekelilingmu.
Daraku, bacalah alam ini seperti puisi.
Karena kata tak sebatas alif, ba, ta, tsa; karena angka tak hanya matematika atau fisika; karena tanda tidak hanya titik atau koma; karena rasa bukan hanya suka atau duka. Berpuisilah Daraku, karena hidup tak hanya untuk keluarga atau dunia semata-mata.
Daraku, narasikanlah hidupmu sebagai tradisi.
Bila kau sudah mengenal aksara dan kata nanti, tulislah rasa yang kau punya sebagai media bagi manusia yang berbudaya. Kirimkan cerita dan kisah-kisah pada karib-kerabatmu untuk dibaca sebagai tanda saling mendengar dan menyimak duka dan derita di setiap penjuru dunia.
Dara, jadikan aksara demi aksara seperti senjata di tangan para tentara. Tuliskan kata demi kata seperti sabda Gibran tentang cinta. Hidupkan kalimat demi kalimat seperti kisah para Nabi dalam kitab suci!
Selamat ulang tahun Dara Witaku!
Kebonnanas Utara, 3 Februari 2017