Posted on / by / in Catatan

Jarak Kata dan Laku

“Hidup adalah perjuangan mewujudkan kata dalam tindakan. Perilaku adalah ekspresi dari kata yang terucap maupun tersirat, entah itu sebangun atau saling berlawanan!”
Aku tidak sedang menggunakan rumus aljabar untuk menakar seberapa jauh atau dekat antara kata dan laku. Karena mengurai kesatuan antara kata dan laku bukanlah dengan melihat satu atau dua peristiwa yang sudah terjadi dalam ke setiap patahan usia.
Awas, jangan tergigit lidah sendiri. Begitu banyak pepatah yang menyinggung soal kata dan laku: mulutmu harimaumu; atau diam itu emas.
Kata dan laku tak ubahnya ruang dan waktu atau sepasang karakter yang terbangun antara protagonis dan antagonis. Walau tak jarang banyak musang berbulu ayam, karena laku baik atau mulut manis kadang tidak bersumber dari mata air jiwa yang suci, tapi hadir sebagai tabir dalam sebuah relasi.
Kubariskan kata demi kata, laku demi laku, dalam ragam ekspreasi kejadian yang berserak maupun bersatu dalam suatu kenyataan. Kubaca ulang dari setiap jurnal yang pernah kutulis dan dari setiap kejadian yang selalu kurenungkan. Karena kontemplasi adalah cermin bagi kekaburan langkah dan kesalahan ucap. Kita butuh ruang dan waktu untuk kembali bercermin pada setiap patahan waktu, sebagai penanda atau kabar, atau bahkan kado bagi diri dan seseorang yang istimewa dalam hidup.
Kata demi kata keluar dalam beragam rupa dan warna. Ada kala ia berupa serigala, terkadang harimau, sesekali bebek. Ada juga caci, puji, sesal, janji manis, atau segala macam doa dan sumpah-serapah, yang keluar dari ruang verbal maupun sikap diam.
Dimensi kompleks bernama kata dan laku ini terkadang secara sadar gathuk bila niat dan pikiran berjumpa dalam situasi yang jernih. Bila alam pikir dan ruang hati tak menentu, kata dan laku, sadar atau tidak, saling bermusuhan dan saling menyerang. Ketika janji keluar sebagai angin surga dan marah meledak bak neraka jahanam, apakah kata bisa diulang dan laku bisa revisi? Sementara alam sudah luluh lantak dan kepercayaan pun sudah terbang entah kemana.
Aku akan setia pada pilihan ini. Tapi sadar atau tidak, kadang justru kita yang menjalankan perilaku yang menggugat keyakinan itu sendiri. Tak jarang, kita justru suka mengumpat dan menyelasi perkataan dan perilaku kita sendiri.
Antara kata dan laku, ada beberapa dimensi ruang yang saling terhubung, seperti niat, pikiran, kenyataan, serta tujuan. Antara dimensi satu dengan lainnya saling berkelindan untuk menjadi pola yang beraturan atau berserakan.
Dalam perspektif agama, niat baik sudah mendapat pahala. Sementara dalam filsafat moral, niat baik saja tidak cukup untuk mencapai tujuan, karena niat baik kadang terhenti di panggung rencana dan janji palsu.
Dalam perspektif kesusastraan, setiap orang punya niat baik dalam kata-kata yang terangkai sebagai narasi. Tapi niat baik itu sering dipertanyakan: “Niat baik saudara berada pada pihak dan konteks ruang waktu yang mana?”
Ini karena niat baik satu pihak sering bertumburan dengan niat baik pihak lainnya. Dan kata adalah proklamasi posisi yang saling mengukuhkan perbedaan.
Karena itu, ketika niat dibulatkan, pikiran diparipurnakan, kata dipuisikan, laku dilakonkan, bagaimana kenyataan akan dihadapi?
Inilah dimensi bernama misteri di mana setiap yang hidup memiliki kehendak. Bagaimana kehendak menjadi bebas dalam alam yang terbuka. Bahkan narasi paling tua pun menuntun kita pada narasi pemberontakan Iblis kepada Tuhan yang dimanifestasikan lewat menolak tunduk pada Adam. Padahal Tuhanlah yang menciptakan semuanya, namun kenapa Iblis bisa membangkang? Selain itu, walau Tuhan murka dan berkuasa, tapi Iblis dibiarkan untuk bebas sampai akhir zaman dan berubah menjadi setan.
Tak ada gading yang tak retak; jiwa-jiwa yang suci pun kadang terbakar oleh panasnya nafsu. Salah dan benar ternyata bukan perkara logika, karena menjabarkan hidup tak sebatas kurang, tambah, bagi, atau kali. Apalagi dalam mengukur dan menimbang kata dan laku.
Hidupku jauh dari baik. Untuk itu, aku meminjam cermin untuk melihat laku yang kadang bertumburan dengan kata yang pernah aku ucapkan padamu.
Dari awal kita bertemu, bersepakat dalam hidup dan menjalankan keluarga, kuniatkan semua dalam rencana yang tulus; kubulatkan dalam laku baik; kupejamkan mata agar menjadi mimpi indah; dan kutuliskan dalam jurnal cintaku ini dengan merdu dan sayang, untuk membahagiakanmu, anak-anak, dan lingkungan.
Tentu banyak kata yang tumbuh namun menjadi ilalang. Apalagi laku sering pecah menjadi duri-duri yang membuatmu terluka. Biarkanlah itu terjadi sebagai alam yang terkembang untuk aku baca ulang sebagai ujian bagi kenaikan kelasku dalam kehidupan.
Guru punya hukuman bagi murid yang tak pernah belajar untuk lulus ujian. Dan aku tidak akan mencari kambing hitam untuk dipersalahkan atau membuat contekan sebagai jalan pintas untuk menebus kemalasan dan kebodohanku.
Sayang, waktu seperti kilat dan ruang semakin sempit untuk membuat apologi atas terwujudnya jarak kata dan laku yang sudah berserakan. Aku menyusun kata-kata ini untuk kau lihat sebagai cermin dari jiwaku apa adanya. Teruslah mencintai apa yang pernah ada karena hidup terus berjalan, dan tugas kita untuk belajar bersama menghitung jarak mana yang terus mendekatkan kata dan laku kita, untuk senantiasa hidup dalam cinta dan rido Tuhan, masih akan kita jalani bersama.
Selamat Ulang Tahun istriku tercinta, Yemmi Livenda.
Kebon Nanas Utara, 27 Juli 2016

Tinggalkan Balasan