Posted on / by Willy Aditya / in Berita

DPR Respons Keresahan Publik Soal Kekerasan Seksual Lewat RUU TPKS

DPR membahas soal RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) bertajuk ‘Stop Kekerasan Seksual di Sekitar Kita! Dengar, Peduli dan Respons (DPR) dalam rangka ‘Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan’ di Gedung DPR RI, Kompleks Parlemen, Jakarta.

Dalam agenda yang digelar, Jumat (26/11), Ketua Panja RUU TPKS DPR RI, Willy Aditya, mengungkapkan RUU TPKS dibutuhkan sebagai bentuk perlindungan terhadap korban. Sebab undang-undang yang ada saat ini seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-undang Perkawinan, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, hingga Undang-undang tentang Pornografi belum bisa menjadi payung hukum untuk melindungi warga negara yang menjadi korban kekerasan seksual.

“RUU TPKS dibutuhkan dalam dua ranah. Pertama bagaimana korban mendapat keadilan dan perlindungan, agar aparat penegak hukum, khususnya polisi dan jaksa punya legal standing dalam menindak,” kata Willy dalam keterangan tertulis, Senin (29/11/2021).

Legal standing tersebut, kata Willy, penting mengingat penegak hukum bekerja berdasarkan hukum positif. Belum lagi banyak korban kekerasan seksual tidak melapor karena faktanya di lapangan seksualitas masih dianggap sebagai aib atau hal yang tabu.

“Korban kekerasan seksual itu sudah jatuh, tertimpa tangga, ditimpuk batu, disorakin lagi. Mereka berbicara tapi kemudian disalahkan karena pakai rok kependekan. Kejadian seperti ini bukan satu atau dua kali,” ungkap Willy.

“Jadi nggak ada tempat di mana mereka mencari keadilan. Maka RUU TPKS ini yang kita butuhkan,” sambungnya.

Willy menambahkan ranah kedua yang perlu diatur lewat RUU TPKS adalah soal memisahkan antara urusan publik dan urusan privat. Hal yang menjadi penting adalah bagaimana kebebasan seksual, penyimpangan seksual dan kekerasan seksual dapat diatur melalui regulasi.

“Memisahkan di mana res publica (urusan publik) dan res privata (urusan privat). Nah kita ingin atur res publica-nya. Hanya kebetulan saja objeknya seksualitas,” terang Willy.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI ini mengatakan, poin-poin krusial pada RUU TPKS sebenarnya sudah disepakati. Willy merinci, poin-poin krusial itu meliputi judul undang-undang, sistematika, perlindungan kepada korban, hingga metodologi persidangan kasus kekerasan seksual.

“Metodologi persidangan apakah tertutup atau terbatas. Di Panja dipilih tertutup untuk melindungi korban. Dan yang paling utama adalah hukum acaranya, kalau di KUHP butuh 3 alat bukti. Di RUU TPKS, kesaksian korban sudah bisa jadi alat bukti. Jadi ini UU yang progresif terhadap keadilan,” paparnya.

Menurut Willy, secara substansi RUU TPKS sudah sangat baik. Hanya saja dibutuhkan kemauan politik (political will) dari seluruh fraksi DPR untuk sama-sama mengesahkan legislasi yang akan melindungi warga negara yang menjadi korban kekerasan seksual ini.

“Saya ingin sebelum masa sidang selesai 15 Desember 2021 bisa diplenokan, bahkan diparipurnakan sebagai RUU inisiatif DPR,” tambah Willy.

Sementara itu Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen, Diah Pitaloka, menyebut RUU TPKS memang identik dengan perempuan. Sebab 90 persen korban kekerasan yang terjadi di Indonesia adalah kaum perempuan, sehingga RUU TPKS bisa dianggap sebagai dorongan moril dari lembaga DPR RI yang dalam periode ini juga diketaui oleh seorang perempuan.

“Emansipasi adalah agenda substansi dari demokrasi. Narasi emansipasi ini tidak boleh surut, harus terus hidup dalam perjuangan di DPR. Dan emansipasi tidak otomatis kewajiban perempuan, karena emansipasi juga dimiliki oleh laki-laki sebagai bagian dari semangat demokrasi,” kata Diah.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR itu menggarisbawahi bagaimana perjuangan DPR terhadap emansipasi perempuan tidak berbasiskan gender. Diah memberi contoh bagaimana Ketua Panja RUU TPKS justru diketuai oleh laki-laki.

“Dan alhamdulillah, teman-teman DPR termasuk di DPD juga khususnya yang perempuan banyak menyuarakan perlunya penghapusan kekerasan terhadap perempuan,” ucap Diah.

Meski RUU TPKS masih terkendala sejumlah hal, namun Diah optimistis RUU ini bisa disahkan. Apalagi semangat anggota DPR periode ini terkait RUU TPKS terbilang jauh lebih baik.

“Kalau RUU ini gagal disahkan, bagaimana nasib korban-korban atau kasus-kasus kekerasan seksual. Kita harus merespons lewat produk hukum. Jangan sampai banyaknya kasus kekerasan seksual menjadi wajah peradaban Indonesia,” ujar Diah.

Diah mengatakan, Kaukus Perempuan Parlemen dan bersama anggota DPR lainnya akan terus berupaya agar RUU TPKS segera disahkan menjadi inisiatif DPR dan selanjutnya menjadi undang-undang. Sebab, banyak elemen masyarakat, mulai dari kalangan aktivis, agamawan, hingga akademisi sudah meyampaikan harapan dan aspirasi agar RUU ini cepat disahkan.

“Persoalan kekerasan seksual ini persoalan riil. Jadi ini soal bagaimana kita memperjuangkan keadilan. Ini kepentingan sosial kita karena kekerasan seksual sudah menjadi persoalan publik,” imbuh Diah.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Abby Gina Boang Manalu menyebut tingginya kasus kekerasan seksual di Indonesia sudah menjadi fenomena gunung es. Masyarakat menantikan regulasi yang komprehensif untuk melindungi korban-korban kekerasan seksual.

“Menurut data Komnas Perempuan, kekerasan seksual yang paling banyak jumlahnya kedua tertinggi dibanding kekerasan yang lainnya. Harapan dari masyarakat adalah bagaimana ada sebuah hukum yang mengatur dan menangani hal tersebut secara komprehensif karena dari berbagai data menunjukkan banyak kasus-kasus kekerasan seksual yang sulit diproses,” ujar Gina.

Gina melihat banyaknya korban yang enggan melaporkan kekerasan seksual karena masalah sosial kultural di masyarakat. Dia memberi contoh, saat korban justru disalahkan ketika mengaku mendapat tindak kekerasan seksual.

“Sistem hukum kita yang belum mengenal persoalan itu sehingga korban seringkali mengalami reviktimisasi. Maka kita punya harapan yang besar dengan RUU TPKS,” ucapnya.

Dukungan terhadap RUU TPKS pun datang dari Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Menurut, Sekretaris Lakpesdam PBNU, KH Marzuki Wahid, agama apapun pasti melarang kekerasan seksual.

“Sebab kekerasan seksual jelas sekali pelanggaran hak-hak kemanusiaan dan penodaan kesucian. Juga berlawanan dengan hukum Tuhan. Maka semua agama menolak kekerasan seksual, tidak ada yang membolehkan,” tegas Marzuki.

Oleh karenanya, kata Marzuki, negara harus hadir memberikan perlindungan kepada korban-korban kekerasan seksual, salah satunya dengan RUU TPKS. Apalagi draft terakhir RUU TPKS tidak hanya melindungi, tapi juga memberikan jaminan pemulihan korban kekerasan seksual.

“Saya tidak menemukan satu pasal pun dalam RUU TPKS yang melegalisasi zina atau LGBT. Karena RUU TPKS mengatur soal hukuman pelaku, melindungi korban dan pencegahan kekerasan seksual,” urainya.

Marzuki menilai, kekerasan seksual bahkan lebih jahat dari korupsi. Oleh karenanya, RUU TPKS diperlukan untuk melindungi masyarakat.

“Korupsi kejahatan berat tapi kekerasan seksual lebih berat dari korupsi karena korban kekerasan seksual tidak bisa dipulihkan seperti kemuliaannya, kehormatannya, belum lagi korban memiliki trauma. Kami atas nama agamawan mendukung RUU TPKS untuk segera disahkan,” tegas Marzuki.

Kemudian Peneliti Institut Sarinah, Luky Sandra Amalia, mengatakan upaya perlindungan warga negara korban kekerasan seksual lewat RUU TPKS adalah wujud pembumian Pancasila, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab.

“Kita tidak bisa mewujudkan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia apabila belum bisa mewujudkan kemanusian yang adil dan beradab,” papar Amalia.

Amalia mengingatkan, perempuan tidak bisa bekerja sendiri untuk menghentikan kekerasan seksual. Apalagi laki-laki, berdasarkan data yang ada, merupakan pelaku terbanyak dari tindak kekerasan seksual selama ini.

“Dengan menjadikan lelaki sebagai sekutu, kita bisa mengubah mereka dari power abuser menjadi changemaker maka diperlukan hadirnya laki-laki dalam proses lahirnya UU ini. Dan saya berharap teman-teman legislatif bisa segera mengesahkan RUU TPKS,” pungkas Amalia.

Sumber : detik.com

Tinggalkan Balasan