INS : Iko Ndak Sakolah
Seperti biasanya, pagi itu saya mengantar Alif, putra sulung saya ke Taman Kanak-kanaknya. Hari itu, ada penjelasan Tim Penguji dari STIFin yang bekerja sama dengan pihak pengelola TK Khisna tempat Alif bermain. STIFin adalah sebuah lembaga yang mempromosikan sidik jari sebagai basis dasar karakter dan bakat seseorang. Menurut keterangan Tim Penguji ini adalah suatu hal bawaan (given) atau alamiah (genetic) oleh setiap orang. Menurut brosur dan buku yang saya dapatkan dari STIFin, tes sidik jari sudah berkembang ratusan tahun yang lalu dan menjadi referensi bagi dunia militer, kriminalitas, perusahaan/organisasi, pemasaran, olahraga, dan juga kesenian.
Setelah mendengarkan penjelasan hasil tes sidik jari Alif, memori saya langsung teringat pada sesuatu yang paling berpengaruh dalam perjalan hidup saya ini. Mungkin saja Taman Kanak-kanak tempat Alif bermain dan Tim dari STIFin belum pernah ke sana atau membaca literatur tentang hal itu. Suatu Ruang yang terletak di desa Pelabihan Dua Kali Sebelas Enam Lingkung tempat warga sekitar acapkali menceritakan mitos Bukit Tambun Tulang berada di komplek tersebut. Ya, itulah Ruang Pendidik INS Kayutanam yang didirikan pada 31 Oktober 1926 oleh seorang yang kami panggil sebagai Engku Sjafei.
Siapa yang pernah berpikir bahwa ini adalah suatu Ruang yang original. Dimana anak muda menemukan eksistensi lebih dahulu di saat yang lain membutuhkan tawuran, narkoba, atau balapan untuk mencari-cari jati diri mereka. Walaupun mengecap pendidikan Barat tetapi Engku Sjafei tidak pernah berpikir dan bertindak positivistik dan rasionalistik yang khas produk dari modernitas. Alih-alih meng-copy paste apa yang didapatkannya di Eropa, Engku Sjafei justru melahirkan suatu karya yang mampu memadukan semangat zaman (zeitgeist) dengan situasi kultural Minangkabau.
Inilah sebenarnya yang menjadikan Ruang Pendidik INS Kayutanam menjadi sesuatu yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan sebagai gagasan. Walau secara praksis dan eksistensinya sangat ‘aneh’ dan offstream bagi masyarakat modern. Pertanyaannya, mengapa Ruang Pendidik INS Kayutanam menjadi sangat penting? Tentu bukan hanya karena saya sebagai alumni dengan alasan suatu hal yang romantik. Sekali lagi bukan karena ikatan emosional masa lalu tersebut semata-mata.
Setiap alumni, guru, tukang masak, tukang sapu, satpam, atau siapapun mereka yang pernah berdialektika dengan Ruang Pendidik INS Kayutanam memiliki perspektif, tafsir, dan pengalaman mereka masing-masing. Ruang Pendidik INS Kayutanam bukanlah role model atau prototip Sekolah dalam mazhab Scholatic ataupun Modernitas yang memiliki struktur baku seperti ruangan kelas, gedung laboratorium, kurikulum standar, baju seragam, murid, guru, atau semacam itu. Di Ruang Pendidik bernama INS Kayutanam, setiap orang adalah manusia-manusia merdeka dalam menentukan aktifitas apa yang mereka kehendaki. Orang bisa bermain musik, bercocok tanam, menganyam, melukis, berpidato, berdakwah, dan mengaji sesuai dengan bakat mereka masing-masing. Tidak ada paksaan untuk menjadi orang lain atau sesuatu yang di luar dirinya sendiri.
Pendekatan empiris (induktif) dalam menemukan kedirian (eksistensi) seseorang adalah sesuatu yang luar biasa. Ini tentu sebagai tandingan (antitesa) dari pendidikan formal yang rasionalis (deduktif), tempat sekolah selalu mengajarkan kebaikan, kealiman, dan positif padahal realitas nyata sangat dinamis dalam puspa ragam coraknya. Secara praksis, Engku Sjafei ingin mengajak manusia untuk tidak munafik (hipokrit) dalam pembentukan karakter dan kedirian seseorang.
“Kalau kau jadi alim ulama jadilah alim ulama yang hebat. Kalau kau jadi bandit jadilah bandit besar!”
Itulah basis objektif yang dijadikan Engku Sjafei karena manusia, tumbuhan, perkakas, serta lingkungan adalah guru yang sesungguhnya. Hidup adalah sesuatu yang dinamis dan dialektis. Titik sumbunya adalah proses setiap orang untuk mengerti, memahami, dan mengapreasi diri sendiri dan orang lain atas setiap karakter, karya, serta pencapaian mereka secara kolektif. Proses kolektif tersebut semakin kuat dengan skema asrama (boarding) yang melahir pola interaksi yang organis dan natural di antara setiap subjek di dalamnya.
Realitas inilah yang membuat INS Kayutanam bukanlah sekolah dalam konstruksi pabrikan. Ini adalah Ruang yang di dalamnya setiap subjek yang egaliter dan merdeka menjadi dirinya sendiri, menjadi apa yang diinginkannya, terbebas dari belenggu arahan formal sekolah. Menjadi diri sendiri adalah mencari kualitas, bukan terjebak pada statistik kehidupan dengan huruf dan angka, yang tergambar dengan standar dan indikator berupa nilai ujian, NEM, siap saji, siap pakai, atau variabel kuantitas lainnya.
Skema pendidikan formal merupakan warisan dari abad kegelapan scholastic yang sangat pedagog untuk menciptakan manusia yang seragam dan taklid terhadap suatu sistem nilai bahkan metodologi tertentu. Atau pendidikan modern yang membentuk manusia ‘robot’ terhadap konstruksi sosial, ekonomi, politik yang industrialis.
Seorang Engku Sjafei tidak menggunakan tes sidik jari setiap orang-orang untuk menemukan bakat pelukis, tentara, sastrawan, politikus dalam mengoptimalkan potensi setiap orang. Alam-lah yang menjadi fasilitator dan guru terbaik bagi manusia untuk secara langsung berekplorasi dan berinteraksi.
“Alam takambang jadi guru!”
Ini adalah ekspresi dari totalitas dalam pilihan hidup bahwa intelejensia (intelligo) bukanlah perkara berapa tinggi IQ (Intelligence Quotient) atau EQ (Emotional Quotient) seseorang. Perkara hidup bukanlah eksperimen salah atau benar untuk melakukan sesuatu tindakan. Tetapi keberanian melakukan pilihan serta totalitas menjalani kehendak bebas hidupnya.
Disinilah gagasan dan ikhtiar seorang Engku Sjafei menjadi sangat penting dalam pembentukan karakter manusia Indonesia. Bahwa Engku Sjafei mendirikan Ruang Pendidik INS Kayutanam bukan untuk mendidik manusia Indonesia seperti manusia Eropa yang siap menjadi administratur pemerintahan atau buruh di pabrik. Bukan pula untuk menjadi manusia yang berpengetahuan luas dengan hafalan text book (sekolahan) tapi tak bisa menjahit kancing baju yang putus.
Secara nyata Engku Sjafei melihat ketidakcocokan konsep pendidikan Eropa (Scholastic dan Pabrikan) yang menjadi mainstream dunia hari ini. Karena peran dan fungsi sekolah tak ubahnya hanya alat bantu atau perkakas untuk memanusiakan manusia. Tetapi faktanya banyak yang gagal (rejected) dari proses tersebut. Kita memang tidak pernah mendengar atau menemukan ada ‘institut koruptor’ atau ‘akademi kriminal’. Tetapi lantas mengapa seorang yang berpendidikan tinggi–sarjana, doktor, bahkan profesor, menjadi teroris yang membunuh ribuan manusia atau koruptor yang memakan bukan haknya.
Cita-cita luhur Engku Sjafei adalah mengembalikan esensi kemanusiaan secara substantif. Cita-cita tersebut terlihat dari bagaimana kita memandang pencapaian bukan secara jabatan dan posisi tetapi nilai guna keberadaan manusia bagi lingkungannya. Terlepas dari apapun profesi dan kedudukan yang disandangnya.
INS Kayutanam secara epistemologi bukanlah SEKOLAH atau bahkan SEKOLAH KEHIDUPAN atau SEKOLAH ALAM seperti yang sekarang banyak beredar di pasaran sebagai alternatif dari jenuhnya pendidikan formal.
Inilah sejatinya cita-cita Engku Sjafei untuk tidak mengulangi kegagalan pendidikan formal yang membuat gap atau jarak antara kelas, kenyataan, dan kehidupan. Ini alasan Ruang Pendidikan INS Kayutanam cukup berada di desa Pelabihan. ‘Lain padang lain belalang’, karena setiap ranah memiliki semangat dan kultur yang berbeda maka INS Kayutanam tidak direplikasi di daerah lain layiknya industri.
INS Kayutanam adalah KEHIDUPAN itu sendiri. Ruang untuk setiap manusia saling belajar satu sama lainnya. Ruang untuk menemukan diri mereka masing-masing. Dalam Ruang inilah satu sama lain saling memberikan pembelajaran dengan suatu keyakinan “jangan kau jadikan pohon mangga berbuah rambutan, tapi jadikan setiap pohon itu manis buahnya!”