Merebut Hati Papua
Faktor kesejarahan yang unik dari Papua sebagai bagian dari Republik Indonesia seolah
menjadi bara dalam sekam yang selalu bisa berkobar setiap waktu. Bara dalam sekam itu
juga seperti dua sisi dari mata uang. Di satu sisi ia bisa menghangatkan lingkungan, namun
di sisi lain selalu siap berkobar kapan saja ketika muncul pemantik. Ini seperti terlihat dari
kerusuhan eskalatif di Bumi Cendrawasih yang terjadi di bulan Agustus kemarin yang dipicu
oleh insiden di Surabaya.
Walhasil, selalu ada potensi yang setiap saat bisa dipicu; dan selalu ada kejadian yang bisa
menjadi pemicunya. Siapa yang menyangka, insiden yang bermula di Asrama Mahasiswa
Papua di Surabaya memantik terjadinya kerusuhan besar di berbagai daerah di Papua dan
Papua Barat. Gugatan lama kembali mencuat. Suara-suara miring terhadap pemerintah
pusat kembali mengemuka. Sentimen SARA muncul tak terduga. Agitasi dan provokasi
dilancarkan oleh kelompok politik laten. Korban jiwa pun tak terhindarkan.
Oleh karena itu, berbagai kalangan kemudian menyuarakan tentang perlu dan pentingnya
pendekatan yang berbeda. Pendekatan yang mampu mengangkat martabat penduduk
Papua. Pendekatan yang membuat warga Papua tidak merasa dianaktirikan atau
diperlakukan diskriminatif. Pendekatan yang berangkat dari akar kebudayaan, kapasitas,
potensi, kebutuhan, dan kebiasaan yang meliputi kepercayaan, tradisi, serta adat istiadat
orang Papua. Pendekatan ini biasa disebut dengan pendekatan kultural.
Tak sekadar kaya SDA
Pendekatan kultural dipandang bisa menjadi antitesis dari pendekatan yang selama ini
berlangsung. Pendekatan ini dinilai akan meniscayakan adanya ruang yang komunikatif,
sekaligus akan memangkas – meminjam istilah dari Yorrys Raweyai – kesenjangan dialogis.
Kuat disinyalir, kesenjangan inilah yang menjadi akar dari segala problem yang merasuki
kehidupan di Papua selama ini.
Akibat kesenjangan dialogis, tercipta kesenjangan pemahaman dan empati satu sama lain.
Pada gilirannya, kenyataan ini menjatuhkan kita pada cara pandang yang parsial dan tidak
jarang dipersepsi diskriminatif terhadap Papua. Bumi Cendrawasih kita pandang sebagai
negeri yang kaya sumber daya alam belaka, namun tidak dengan SDM-nya. Sejumlah atribut
minor, sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, kerap kita nisbahkan kepada
mereka. Padahal disaat yang sama kita banyak melihat segudang prestasi ditorehkan oleh
putra-putri terbaik Papua. Yang paling populer adalah dari dunia olahraganya.
Tak terhitung jumlah atlet berprestasi kelahiran Tanah Papua. Mulai dari pesepak bola,
lifter, sprinter, hingga atlet futsal. Satu contoh, Boaz Solossa. Namanya cukup populer di
kalangan pecinta sepak bola nasional. Mungkin dialah satu-satunya pesepakbola kita yang
pernah menjebol gawang Timnas Uruguay. Meski tidak pernah meraih medali di ajang
internasional, namun berbagai penampilannya membuatnya kerap menjadi bahan
perbincangan khalayak.
Di cabang olahraga paling populer sejagat ini, Papua bahkan selalu menjadi “pabrik” bagi
pemain-pemain handal. Setelah Boaz, banyak lahir pemain yang selevel seperti Titus Bonai,
Patrich Wanggai, Friska Womsiwor, Marinus Wanewar, Todd Rivaldo Ferre, dan tidak
ketinggalan Osvaldo Hay. Dan hebatnya, para pemain asal Papua ini hampir selalu menjadi
“kartu as” bagi Timnas di lapangan hijau.
Ini menunjukkan bahwa Bumi Cendrawasih tidak hanya dikaruniai Tuhan dengan kekayaan
alam yang luar biasa, baik di dalam maupun di permukaan tanahnya. Mereka juga diberkati
oleh Yang Maha Kuasa dengan talenta-talenta luar biasa, tak terkecuali di bidang ilmu
pengetahuan.
Hal ini dibuktikan dengan sejumlah prestasi yang telah mereka torehkan, baik di dalam
maupun luar negeri. Perempuan-perempuan Papua bukan hanya telah menjadi pilot,
namun juga banyak yang telah mampu meraih gelar Ph.D di berbagai kampus ternama
dunia. Sejumlah ilmuwan juga telah banyak lahir, dan beberapa di antaranya meraih
penghargaan bergengsi level internasional. Tahun 2016 lalu, dua siswa asal Papua bahkan
berhasil lolos menjadi bagian dari 20 tim peneliti muda di Badan Antariksa Amerika Serikat
(NASA).
Ini belum menyertakan keberadaan sekolah asrama binaan Prof. Yohanes Surya di Kota
Lanny Jaya. Dari sekolah ini juga banyak lahir para juara olimpiade fisika, kimia, dan
matematika. Belum lagi nama-nama lainnya yang pasti masih cukup banyak.
Pusat pembangunan SDM
Semua ini menunjukkan bahwa Tanah Papua tidak hanya memiliki karunia SDA yang
berlimpah. Papua juga memiliki potensi luar biasa dalam hal pengembangan SDM. Ia telah
begitu banyak melahirkan talenta luar biasa yang menjanjikan. Kenyataan ini mestinya bisa
mengantarkan kita untuk melihat Papua dengan paradigma baru. Paradigma yang sejalan
dengan pendekatan kultural, sekaligus dalam kerangka perbaikan pelaksanaan otonomi
khusus di wilayah paling timur Indonesia selama hampir 20 tahun ini.
Otsus Papua sendiri sesungguhnya adalah antitesis yang progresif bagi nasib Papua
sebelumnya. Namun, seperti kita sadari bersama, banyak “efek samping” yang terjadi dalam
pelaksanaannya. Otsus seperti terjebak pada besarnya alokasi dana namun tanpa kearifan
dan kejelian dalam melihat alam kehidupan sosial-budaya masyarakatnya. Otsus juga tidak
melahirkan model pembangunan yang genuine “ala Papua”.
Pembangunan yang berlangsung akhirnya disimilarkan dengan wilayah lainnya tanpa kejelian melihat keunikan
dan potensi terdalam dari segala kekayaan, karakter, serta posisi strategis yang dimiliki oleh
provinsi ini. Oleh karena itu, dalam kerangka pendekatan kultural yang tengah digaungkan
oleh berbagai kalangan, serta melihat segala potensi dan karakteristik Papua yang unik, baik
sejarah maupun budayanya, sudah saatnya kita membuat terobosan.
Misalnya, berangkat dari uraian di atas, Papua diarahkan menjadi pusat pengembangan
SDM Indonesia. Segala macam ruang penempaan dalam rangka membangun SDM Indonesia
yang berkualitas, yang siap menghadapi setiap perubahan dunia, kita fokuskan di sana.
Papua diproyeksikan menjadi pusat pengembangan ilmuwan-ilmuwan Indonesia ke depan.
Pusat-pusat riset strategis, baik itu pertanian, pertambangan, energi, pariwisata, hingga
geopolitik, juga dibangun di Papua. Singkat kata, Papua kita siapkan sebagai center of
excellence dari bangsa ini.
Termasuk dalam kerangka ini adalah bidang wisata dan olahraga. Papua tepat untuk
menjadi pusat pengembangan talenta-talenta muda dari segala macam jenis olahraga yang
diminati oleh bangsa ini. Keadaan alam Papua sangat mendukung bagi pengembangan fisik
dan mental calon atlet. Alamnya yang masih hijau, dengan kualitas udara yang masih sangat
baik, akan sangat menunjang kekuatan fisik seseorang. Kiranya, inilah mengapa banyak atlet
Papua, terkhusus pesepakbolanya, memiliki stamina di atas rata-rata.
Di sisi lain, dengan keindahan alamnya, Papua bisa didedikasikan bagi pengembangan
potensi wisata kelas dunia, di samping daerah-daerah lain di Nusantara. Raja Ampat adalah
modal awal yang bisa kita naikkan lagi levelnya hingga berkelas dunia. Selain Raja Ampat,
wilayah Papua memiliki puluhan destinasi wisata lainnya yang tidak kalah menariknya. Ia
ada di Biak, di pegunungan Jayawijaya, Manokwari, Merauke, Jayapura, Nabire, Wondama,
Sorong, Wamena, Sentani, dst. Seni, tradisi, serta adat-istiadat Papua yang unik dan kaya
juga bisa menjadi daya tarik sendiri di bidang wisata budaya.
Ini bukan sekadar gimmick atau obat pelipur lara bagi Papua. Ini juga berbeda dengan
masterplan akselerasi pembangunan model MP3EI dulu. Ini adalah gagasan yang berangkat
dari keunggulan dan kekhasan yang dimiliki oleh Papua. Selain dalam rangka
menyeimbangkan bagian barat dan timur Indonesia, langkah ini juga selaras dengan proyek
pembangunan Jokowi-Ma’ruf Amin yang berfokus pada pengembangan SDM.
Sama halnya dengan rencana pembangunan istana kepresidenan di Papua mulai tahun 2020
mendatang, terobosan di atas juga bisa dimaknai serupa. Keduanya menjadi simbol dari tak
terpisahkannya Papua dengan NKRI. Keduanya juga bisa sinergis dalam konteks posisi Papua
sebagai beranda di kawasan Asia-Pasifik. Berdirinya istana kepresidenan dan center of
excellence tadi akan mengukuhkan Papua sebagai bagian dari sebuah entitas bangsa yang
satu.
Lewat cara pandang semacam ini, sebuah kebijakan akan benar-benar berangkat dari
orisinalitas yang dimiliki Papua. Paradigma semacam ini juga tidak akan menimbulkan gegar
budaya (cultural shock) para subyek sosialnya. Dengan cara berpikir yang empatik semacam
ini, tidak hanya potensi separatisme yang bisa diredam, namun kita juga akan benar-benar
merebut hati Papua.
Willy Aditya
*Anggota DPR RI, Ketua DPP Partai NasDem