Posted on / by Willy Aditya / in Berita

Panja RUU TPKS: Sebarkan narasi positif tentang RUU TPKS

Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Sekual (RUU TPKS), Willy Aditya, menekankan pentingnya membangun narasi positif terhadap RUU TPKS maupun upaya pencegahan kekerasan seksual secara umum.

Hal tersebut disampaikan Willy saat menjadi narasumber dalam acara Media Briefing bertajuk “Dialog Anak, DPR dan Media mengenai Kekerasan Seksual” yang digelar secara virtual, Kamis (2/11/2021).

Willy mengatakan bahwa narasi terhadap keberadaan RUU TPKS selama ini cenderung negatif.

“Di kita, jujur narasi terhadap RUU TPKS itu negatif. Kita dapat serangan seolah-olah kita yang bejat. Seolah-olah kita agen free sex, liberalisme dan seks menyimpang,” kata Politisi Partai Nasdem itu.

Padahal, kata Willy, pihaknya ingin mewujudkan peradaban yang lebih baik dan lebih manusiawi melalui RUU tersebut. Namun demikian, dibandingkan dengan narasi dukungan, menurut Willy, masih lebih nyaring suara dan narasi backfire akibat kurang terbangunnya narasi positif terhadap RUU TPKS di ruang publik.

Ia kemudian menceritakan pengalaman membuat konten edukasi terkait pencegahan kekerasan sek  fundamental. Tapi karena serangannya luar biasa. (Ada yang menyerang dengan mengatakan) ‘ini pintu masuk LGBT, free sex’, kalah kita,” ungkapnya.

Ia kemudian menyimpulkan dari pengalamannya selama mengawal RUU TPKS, bahwa narasi dukungan tidak kalah penting untuk disuarakan dibanding dengan substansi RUU TPKS itu sendiri.

“Ini menjadi catatan-catatan, UU (TPKS) penting sekali karena saya merasakan itu. Tapi literasi dan narasi yang harus kita bangun itulah yang menjadi akar,” kata Willy.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) ini juga memberikan contoh pembangunan narasi anti kekerasan seksual. Yaitu seperti yang dilakukan oleh sastrawan Marah Rusli. Willy mengatakan bahwa melalui karya sasta, Marah Rusli menggambarkan dampak psikologis dan sosiologis kawin paksa.

“Marah Rusli itu membangun narasi menceritakan dampak luar biasa dari kawin paksa. Itu sudah lama (dilakukan) di abad ke-20. Dia konstruksikan itu sebagai bentuk narasi, itu baru kawin paksa. Dampak psikologis sosial kultural. Belum lagi pencabulan pemerkosaan pelecehan, dan lain sebagainya. Itu terjadi dan (dampaknya) luar biasa,” tandasnya.

Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Sekual (RUU TPKS), Willy Aditya, menekankan pentingnya membangun narasi positif terhadap RUU TPKS maupun upaya pencegahan kekerasan seksual secara umum.

Hal tersebut disampaikan Willy saat menjadi narasumber dalam acara Media Briefing bertajuk “Dialog Anak, DPR dan Media mengenai Kekerasan Seksual” yang digelar secara virtual, Kamis (2/11/2021).

Willy mengatakan bahwa narasi terhadap keberadaan RUU TPKS selama ini cenderung negatif.

“Di kita, jujur narasi terhadap RUU TPKS itu negatif. Kita dapat serangan s  eolah-olah kita yang bejat. Seolah-olah kita agen free sex, liberalisme dan seks menyimpang,” kata Politisi Partai Nasdem itu.

Padahal, kata Willy, pihaknya ingin mewujudkan peradaban yang lebih baik dan lebih manusiawi melalui RUU tersebut. Namun demikian, dibandingkan dengan narasi dukungan, menurut Willy, masih lebih nyaring suara dan narasi backfire akibat kurang terbangunnya narasi positif terhadap RUU TPKS di ruang publik.

Ia kemudian menceritakan pengalaman membuat konten edukasi terkait pencegahan kekerasan sek  fundamental. Tapi karena serangannya luar biasa. (Ada yang menyerang dengan mengatakan) ‘ini pintu masuk LGBT, free sex’, kalah kita,” ungkapnya.

Ia kemudian menyimpulkan dari pengalamannya selama mengawal RUU TPKS, bahwa narasi dukungan tidak kalah penting untuk disuarakan dibanding dengan substansi RUU TPKS itu sendiri.

“Ini menjadi catatan-catatan, UU (TPKS) penting sekali karena saya merasakan itu. Tapi literasi dan narasi yang harus kita bangun itulah yang menjadi akar,” kata Willy.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) ini juga memberikan contoh pembangunan narasi anti kekerasan seksual. Yaitu seperti yang dilakukan oleh sastrawan Marah Rusli. Willy mengatakan bahwa melalui karya sasta, Marah Rusli menggambarkan dampak psikologis dan sosiologis kawin paksa.

“Marah Rusli itu membangun narasi menceritakan dampak luar biasa dari kawin paksa. Itu sudah lama (dilakukan) di abad ke-20. Dia konstruksikan itu sebagai bentuk narasi, itu baru kawin paksa. Dampak psikologis sosial kultural. Belum lagi pencabulan pemerkosaan pelecehan, dan lain sebagainya. Itu terjadi dan (dampaknya) luar biasa,” tandasnya.

Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Sekual (RUU TPKS), Willy Aditya, menekankan pentingnya membangun narasi positif terhadap RUU TPKS maupun upaya pencegahan kekerasan seksual secara umum.

Hal tersebut disampaikan Willy saat menjadi narasumber dalam acara Media Briefing bertajuk “Dialog Anak, DPR dan Media mengenai Kekerasan Seksual” yang digelar secara virtual, Kamis (2/11/2021).

Willy mengatakan bahwa narasi terhadap keberadaan RUU TPKS selama ini cenderung negatif.

“Di kita, jujur narasi terhadap RUU TPKS itu negatif. Kita dapat serangan s  eolah-olah kita yang bejat. Seolah-olah kita agen free sex, liberalisme dan seks menyimpang,” kata Politisi Partai Nasdem itu.

Padahal, kata Willy, pihaknya ingin mewujudkan peradaban yang lebih baik dan lebih manusiawi melalui RUU tersebut. Namun demikian, dibandingkan dengan narasi dukungan, menurut Willy, masih lebih nyaring suara dan narasi backfire akibat kurang terbangunnya narasi positif terhadap RUU TPKS di ruang publik.

Ia kemudian menceritakan pengalaman membuat konten edukasi terkait pencegahan kekerasan sek  fundamental. Tapi karena serangannya luar biasa. (Ada yang menyerang dengan mengatakan) ‘ini pintu masuk LGBT, free sex’, kalah kita,” ungkapnya.

Ia kemudian menyimpulkan dari pengalamannya selama mengawal RUU TPKS, bahwa narasi dukungan tidak kalah penting untuk disuarakan dibanding dengan substansi RUU TPKS itu sendiri.

“Ini menjadi catatan-catatan, UU (TPKS) penting sekali karena saya merasakan itu. Tapi literasi dan narasi yang harus kita bangun itulah yang menjadi akar,” kata Willy.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) ini juga memberikan contoh pembangunan narasi anti kekerasan seksual. Yaitu seperti yang dilakukan oleh sastrawan Marah Rusli. Willy mengatakan bahwa melalui karya sasta, Marah Rusli menggambarkan dampak psikologis dan sosiologis kawin paksa.

“Marah Rusli itu membangun narasi menceritakan dampak luar biasa dari kawin paksa. Itu sudah lama (dilakukan) di abad ke-20. Dia konstruksikan itu sebagai bentuk narasi, itu baru kawin paksa. Dampak psikologis sosial kultural. Belum lagi pencabulan pemerkosaan pelecehan, dan lain sebagainya. Itu terjadi dan (dampaknya) luar biasa,” tandasnya.

Sumber: antaranews.com

Tinggalkan Balasan