Posted on / by Willy Aditya / in Berita

Perbedaan Pandangan Jadi Kendala Pembahasan RUU PKS dan PPRT

Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) masih jalan di tempat. Kendala utama pembahasan, yaitu perbedaan perspektif di DPR.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya mencontohkan pembahasan RUU PKS. Masih ada yang menilai beleid itu bertentangan dengan budaya ketimuran.

“RUU PKS dianggap sebagai pintu masuk mazhab free seks, mazhab legalisasi LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender), serta aborsi,” kata Willy dalam program Crosschek Medcom.id bertemakan Kartini, Politik, dan Kekerasan Seksual, Jumat 23 April 2021.

Dia mengatakan pandangan itu muncul akibat terminologi kebebasan seksual dalam draf RUU PKS yang lama. Namun, DPR tengah mencarikan solusi agar perbedaan pandangan tidak menghambat pembahasan.

Perbedaan pandangan lain terkait RUU PKS, yaitu hukum pidana. Ada yang menyebutkan sebaiknya ketentuan pidana di RUU PKS digabung ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Namun, KUHP saat ini belum memadai bagi korban. Sehingga, butuh payung hukum lain untuk menjamin hak korban kekerasan seksual.

Perbedaan pandangan juga muncul pada pada RUU PPRT. RUU tersebut dianggap bersifat feodalisme. Ada pula yang menilai pengaturan metode kerja di RUU PPRT belum cocok diterapkan di Indonesia lantaran belum menjadi negara industrialis.

“Jadi tidak bisa hubungan kerjanya dibangun industrialis. Ada jam kerja, upah tetap gitu,” ungkap dia.

Willy menegaskan RUU PPRT bukan menjadikan relasi di rumah tangga sebagai industrialis. Namun, RUU itu untuk memuliakan para pekerja rumah tangga.

Sumber : medcom.id

Tinggalkan Balasan