Posted on / by Willy Aditya / in Opini

Restorasi Politik Gagasan

Supremasi logika “politik kuantitatif” yang terepresentasikan dari istilah-istilah seperti popularitas, likeabilitas, elektabilitas, hingga “isi tas”, begitu manifes dalam kehidupan politik Tanah Air selama hampir dua dasa warsa belakangan ini. Yang disebut gagasan mungkin muncul dalam berbagai kampanye dan acara debat para calon kepala pemerintahan namun ia tidak menjadi representasi dari apa yang disebut politik gagasan.

Politik gagasan sendiri adalah praktik politik yang mengedepankan gagasan sebagai komoditi utama yang ditawarkan kepada publik sekaligus menjadi agenda utama perjuangan yang dalam konteks ini, partai politik. Politik gagasan bukan politik yang mengedepankan persamaan identitas, faktor kedekatan, atau aspek-aspek non rasional lainnya. Politik gagasan juga tidak menjadikan kekuasaan sebagai tujuan melainkan alat untuk meraih tujuan.

Di era post ideologi seperti saat ini, gagasan menjadi sesuatu yang paling sering ditawarkan – utamanya dalam praktik politik di negara-negara yang sudah cukup matang demokrasinya. Ia bisa jadi merupakan partisi atau kombinasi dari berbagai ideologi yang pernah ada sebelumnya. Yang paling penting adalah seberapa berdasar dan argumentatif gagasan itu disampaikan.

Di AS, liberalisme sudah bukan lagi bahan perdebatan atau tawaran terhadap konstituen. Gagasan yang ditawarkan adalah penurunan pajak, keberpihakan kepada warga (American First), asuransi kesehatan dari negara, dst. Di Inggris, isu seputar Brexit menjadi gagasan utama dalam berbagai kampanye yang digelar. Di belahan Eropa lainnya, sikap untuk menolak atau menerima para imigran menjadi ruang adu gagasan dalam ajang kontestasi politiknya.

Gagasan NasDem

Di Tanah Air, era post ideologi tidak tersubstitusi oleh banyaknya gagasan yang muncul dalam arena politik kontemporer. Dalam momen pemilu atau pilkada, memang kerap muncul visi-misi yang datang dari para calonnya. Pendidikan gratis, biaya kesehatan gratis, SIM seumur hidup, gratis pajak kendaraan, dsb. Tetapi itu bukanlah gagasan. Ia hanya menjadi tawaran atau lebih sering menjadi gimik yang disampaikan kepada calon pemilih agar mau memilih. Tidak salah dan tidak jelek, namun tetap saja itu bukanlah gagasan. Alih-alih gagasan, politik era post ideologi di Indonesia diisi dengan praktik politik yang pragmatis.

“Khilafah adalah Solusi” sebenarnya adalah gagasan dalam politik. Sayangnya gagasan tersebut destruktif, tidak hanya bagi demokrasi akan tetapi juga bagi eksistensi negara bangsa seperti Indonesia. Demikian juga NKRI Bersyariah dan sejenisnya. Selain tidak sejalan dengan konstitusi, gagasan-gagasan tersebut juga tidak muncul dari aktor formal politik melainkan nonformal: ormas, aksi massa, dsb. Dalam Pemilu 2014 & 2019 sebenarnya ada fenomena yang cukup menjanjikan: para calon pemilih benar-benar kebal dari politik uang. Mereka memilih dari dan karena panggilan hati. Namun, sekali lagi, sayangnya ia bukan dipicu oleh politik gagasan melainkan jenis praktik politik yang lain, yakni politik identitas.

Di tengah kealpaan itu Partai NasDem yang lahir tahun 2011 lalu kemudian mencoba menghadirkan praktik politik gagasan. Misalnya dengan Koalisi Tanpa Syarat pada saat Pilpres 2014 dan Politik Tanpa Mahar di beberapa ajang pilkada. Dua gagasan tersebut berangkat dari pemikiran bahwa kerja sama politik (koalisi) mestinya tidak didasarkan pada syarat-syarat seperti jatah kursi kabinet, misalnya, melainkan kesamaan pikiran dan kepentingan. Demikian juga dalam upaya melahirkan pemimpin daerah yang berintegritas, amanah, dsb, dipungutnya mahar dari calon sebagai hal yang jamak sebelumnya, ditinggalkan oleh NasDem. Dalam pemikiran NasDem, mahar kerap kali menjadi musabab dari tidak amanahnya seorang kepala daerah.

Tentu saja NasDem tidak naif bahwa potensi korup tetap ada mengingat praktik demokrasi langsung kita memiliki banyak aspek pembiayaan. Namun sebagai sebuah gagasan agar seorang calon kepala daerah tidak merasa berhutang kepada partai politik saat berkontestasi, kiranya itu sudah merupakan semangat yang harus digaungkan. Selain itu, sebagai sebuah terobosan, inisiatif itu juga patut diapresiasi.

Tantangan dari semesta politik

Namun ternyata itu semua masih belum cukup. Ketika NasDem menjalankan dua gagasan di atas, apresiasi memang hadir. Mereka yang hendak mencalonkan diri begitu apresiatif. Namun tidak dengan “para kolega” dan publik secara umum. Aspek mahalnya biaya demokrasi agaknya menjadi sinyalemen yang bisa dipakai untuk menjelaskan mengapa ini terus terjadi. Lebih dari itu, ada satu kekuatan tak kasat mata yang membuat semua pihak seperti tak berdaya menghadapinya.

Sebagai ilustrasi, di ajang pileg, dengan angka Party ID yang begitu kecil dan angka ketidakpercayaan publik terhadap partai yang begitu besar, bagaimana kiranya politik gagasan bisa menarik minat mereka untuk memilih? Lalu bagaimana pula sebuah partai berspekulasi untuk tidak “membeli” suara sementara pemilih “tidak sudi” memberikan suaranya jika tidak ada “imbalan” tertentu? Belum lagi, dalam kenyataannya, partai tidak bisa serta merta mengawasi para calegnya untuk benar-benar tidak menggunakan uang sementara kemenangan menjadi target dan perintah dari partai?

Inilah semesta politik yang membuat partai seolah tak berdaya untuk melawannya. Sebagaimana semesta raya yang memiliki hukum kehidupan yang para penghuninya harus tunduk terhadapnya karena jika melawan ia akan binasa, demikian juga partai di semesta politik saat ini. Semesta ini telah menciptakan hukum-hukumnya di berbagai ekosistem politik yang ada: ekosistem pilkada, ekosistem pileg, pilpres, hubungan antar lembaga, hubungan negara dengan warganya, dst.

Bagaimana ini bisa terjadi? Tidak mudah untuk menjawabnya. Tapi jika boleh merunut ke belakang, pasca Reformasi ’98 sebenarnya kita memiliki modal sosial yang cukup menjanjikan bagi kehidupan politik yang sehat. Ini terlihat, misalnya, dari inisiatif nyata simpatisan untuk membuat posko partai yang didukungnya, secara mandiri menjelang Pemilu 1999. Namun selepas itu, inisiatif mereka hilang. Pada Pemilu 2004, atensi publik sepertinya mulai beralih kepada sosok capres, mengingat pada tahun tersebut kita mulai menggunakan pemilihan presiden secara langsung. Meski belum teruji, tetapi sinyalemen ini bisa diperiksa dari dua hal. Pertama, menangnya SBY dalam pilpres lewat partai barunya; dan kedua, karakter paternalistik masyarakat kita yang masih bertahan hingga saat ini.

Mulai saat itu pula kita mengenal istilah pencitraan dalam politik, money politics, politik dagang sapi, jual-beli suara, hingga yang mutakhir adalah politik identitas dan populisme. Logika utama dari itu semua adalah bagaimana meraih jumlah suara sebanyak-banyaknya dalam kontestasi (quantitative approach). Konsekuensinya, tidak saja biaya politik menjadi sangat mahal, namun lebih dari itu, politik gagasan atau politik yang berisi gagasan menjadi minor, bahkan asing.

Demokrasi untuk republik

Namun kenyataan sesuram apapun tidak boleh membuat kita putus asa dan berpikir mundur. Di belantara pragmatisme politik yang berlangsung, harus ada yang menjaga idealisme politik. Demokrasi sudah menjadi pilihan kita, termasuk proses pemilihan langsung. Dialektikanya harus tetap kita jalani dengan senantiasa berupaya untuk terus memperbaikinya lewat ruang-ruang koreksi.

Upaya pertama yang mesti dilakukan adalah mengubah beberapa kebijakan dalam sistem politik kita. Mulai dari terus menyederhanakan representasi kepartaian kita di DPR, mengaji kembali sistem pemilu dan pilkada, hingga kelembagaan demokrasi kita. Soal ini memang berada di wilayah pertarungan politik. Oleh karenanya dibutuhkan – meminjam istilahnya Bung Karno – “kesabaran revolusioner”: kesabaran yang mengandung daya juang terus menerus.

Upaya kedua adalah merestorasi konsep republik (res publica: kebaikan bersama) sebagai orientasi utama politik. Sebagai sebuah istilah, konsep republik harus dirintis untuk menjadi diskursus yang semarak dalam kehidupan politik kita, sebagaimana demokrasi. Caranya dengan menjadikan segala hal terkait kepublikan (etika publik, administrasi publik, uji publik, pelayanan publik, komunikasi publik, dst.) sebagai wacana utama dalam politik.

Pemikiran tentang kebaikan publik sebagai nilai utama politik disebut dengan republikanisme. Pemikiran ini menyatakan bahwa politik pertama-tama bukan semata soal kekuasaan (kratos/daulah). Bahwa dalam politik dibutuhkan kekuasaan, itu benar. Namun ia (mestinya) hanya sekadar alat untuk mencapai kebaikan publik.

Syaiful Arif (2015) menyampaikan, republikanisme merupakan salah satu varian filsafat politik Barat kontemporer yang menyediakan diskursus tentang hakikat politik. Akar teoritisnya merentang sejak Aristoteles (384-322 SM), Cicero (106-43 SM), Machiavelli (1469-1527), James Harrington (1611-1677), JJ Rousseau (1712-1778), James Madison (1751-1836), hingga Hannah Arendt (1906-1975). Konsen utamanya terletak di dalam politik sebagai kebaikan publik yang diwujudkan melalui partisipasi rakyat, sejak dalam pemilihan pemimpin hingga perumusan kebijakan.

Sejatinya, politik adalah tentang gagasan. Gagasan tentang apa yang dinilai baik dan adil bagi publik. Oleh karena itu, politik yang tidak bermuatan gagasan sesungguhnya telah melenceng jauh dari hakikat politik. Dengan politik gagasan, kita tengah melakukan restorasi politik sebagai sarana utama untuk mencapai kebaikan bersama. Dengan kata lain, politik gagasan membawa kembali demokrasi untuk berkhidmat penuh kepada republik.

Tulisan ini dimuat di Media Indonesia 16 November 2019

Tinggalkan Balasan