Posted on / by Willy Aditya / in Berita

Urgensi RUU Perlindungan PRT yang Diduga Terganjal 2 Fraksi DPR

Meski sudah 16 tahun diperjuangkan, Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga masih terganjal di Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Ketua Panitia Kerja RUU Perlindungan PRT Willy Aditya, ada kelompok di Dewan yang merasa ketakutan akan formalisasi PRT lewat terbitnya aturan ini.

“Kalau yang saya dengar, ketakutan dalam kondisi seperti ini adalah akan ada formalisasi PRT,” kata Willy, Rabu lalu, 22 Juli 2020.

RUU Perlindungan PRT sebetulnya telah disetujui menjadi usul inisiatif DPR dalam rapat pleno Baleg 1 Juli lalu. Namun, Badan Musyawarah DPR tak meloloskan RUU ini dibawa untuk disahkan ke rapat paripurna 16 Juli lalu, yang juga penutupan masa sidang.

Sejumlah pihak menduga terganjalnya RUU Perlindungan PRT ini lantaran penolakan dua fraksi besar di DPR. Willy pun tak menampik adanya dua fraksi besar yang belum setuju. “NasDem berkomunikasi dengan banyak partai, skornya 7-2 sejauh ini,” ujar politikus NasDem ini.

Sejumlah sumber yang dihubungi Tempo menyebut dua fraksi besar yang menolak RUU Perlindungan PRT adalah Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Dalam pandangan minifraksi saat pleno Baleg 1 Juli lalu, dua partai tersebut memang tak menyampaikan persetujuan.

Pandangan Fraksi PDIP yang dibacakan anggota Baleg Vita Ervina menyatakan sikap menunda pembahasan tentang RUU Perlindungan PRT untuk pendalaman lebih lanjut. Salah satu alasannya, RUU ini perlu diharmonisasi dengan UU Ketenagakerjaan agar realisasinya di masyarakat tidak sulit.

“Fraksi PDI Perjuangan merasa perlu untuk melakukan pendalaman lebih lanjut terhadap substansi RUU tentang perlindungan PRT,” kata Vita Ervina ketika itu. Sejumlah anggota Baleg dari Fraksi PDIP yang dihubungi Tempo belum bersedia berkomentar lagi terkait hal ini.

Adapun pandangan minifraksi Golkar ketika itu dibacakan Haeny Relawati. Setidaknya ada lima catatan yang disampaikan Golkar. Salah satunya, Golkar menganggap perlindungan mestinya diberikan kepada siapa pun yang menjadi korban. Di sisi lain, Golkar menilai kekerasan justru bisa berasal dari pihak PRT itu sendiri.

“Perlindungan menurut ketentuan umum dalam rancangan ini hanya diberikan kepada PRT,” kata Haeny ketika itu. Ketua Kelompok Fraksi Golkar di Baleg DPR, Nurul Arifin, tak merespons pertanyaan Tempo ihwal RUU Perlindungan PRT ini.

Selain Golkar dan PDIP, fraksi lain mendukung RUU Perlindungan PRT ini. Anggota Baleg dari Partai Amanat Nasional, Zainuddin Maliki, menyatakan RUU Perlindungan PRT harus direspons positif sebagai bentuk hadirnya negara untuk penguatan PRT sebagai jenis pekerjaan yang dipayungi undang-undang.

“Melihat permasalahan PRT, maka perlu pemihakan terutama dari negara untuk memberi ruang penguatan hak dan kewajibannya secara pasti dalam suatu produk undang-undang,” ujar Zainuddin kepada Tempo, Kamis, 23 Juli 2020.

Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Lita Anggraini mengatakan survei Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2015 mencatat ada 4,2 juta PRT bekerja tanpa status. Pada tahun ini angkanya diperkirakan sudah 5 juta.

“Mereka bekerja dan hidup dalam situasi kerja yang tidak layak,” kata Lita kepada Tempo, Kamis, 23 Juli 2020.

Lita mengatakan, beberapa bentuk kekerasan yang dialami PRT ialah jam kerja panjang hingga lebih dari 16 jam per hari, tak ada libur mingguan, tak diikutkan program jaminan kesehatan nasional dan jaminan sosial tenaga kerja, hingga upah yang masih 20-30 persen dari Upah Minimum Regional.

Survei Jala PRT terhadap 686 PRT di tujuh daerah pada Desember 2019 lalu mencatat, upah PRT di Medan hanya berkisar Rp 400-700 ribu, di Semarang Rp 400-800 ribu, di Jakarta Rp 800 ribu-Rp 1 juta, dan Makassar Rp 600-700 ribu.

Dari 457 kasus dampingan Jala PRT pada 2019, sebanyak 62 persen di antaranya melaporkan persoalan ekonomi, sekitar 47 persen mengalami pelecahan seksual, dan lainnya 32 persen. Ada pula delapan kasus PRT anak usia 14-16 tahun.

“Ada anak usia 16 tahun itu tidak dibayar upahnya selama dua bulan,” kata Lita.

Menurut Lita, ada juga PRT yang tak dibayar upahnya hingga 50 bulan dan tak mendapatkan THR. “Mereka sangat dilecehkan karena profesinya. Sudah hidup di garis kemiskinan, direndahkan, dilecehkan, kalau sakit banyak yang di-PHK.”

Sumber : tempo.co

Tinggalkan Balasan