Willy Aditya: RUU TPKS untuk Lindungi Korban Kekerasan Seksual
Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-undang Tindakan Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) Willy Aditya mengakui bahwa dalam KUHP sudah diatur soal penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, tindak pidana perdagangan orang dan pornografi, tetapi itu masih belum cukup untuk menjadi payung hukum terhadap tindak kekerasan seksual.
“Jadi dibutuh payung hukum. Contoh yang paling sederhana saja, yang masih lekat di kepala kita kasus Baiq Nuril,” kata Willy dalam diskusi “Stop Kekerasan Seksual di Sekitar Kita” di Kompleks Parlemen, Senayan, Jumat (26/11/2021).
Baiq Nuril yang dimaksud Willy adalah guru perempuan yang dipidanakan karena merekam percakapan mesum kepala sekolah. Baiq Nuril dihukum enam bulan penjara dan denda Rp500 juta setelah dijerat dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Jadi korban kekerasan seksual itu sudah jatuh tertiban tangga, ditimpuk batu dan disorakin. Jadi ga ada tempat di mana mereka mencari keadilan,” kata politisi NasDem itu yang menjelaskan latar belakang mengapa RUU tersebut diusulkan.
Dijelaskan Willy, dalam pembahasan di Panja, poin-poin krusialnya sudah di ketok semua. Poin krusial yang sudah disepakati diantaranya terkait judul dan tindak pidana kekerasan seksual. Ada 5 fraksi yang sepakat, 3 menolak dan satu abstain.
“Sampai sekarang masih ada Fraksi yang minta perubahan judul. Kita yang setuju dengan Tindak Pidana Seksual dan judul satu lagi tindak pidana susila. Tinggal political will saja untuk kemudian memplenokannya dan dibawa ke Paripurna untuk disahkan sebagai RUU usul inisiatif DPR,” ungkap Willy.
Willy mengungkapkan, jika perubahan judul menjadi tindak pidana susila dilakukan maka dasar perjuangan yang dilakukan oleh Baleg akan terlalu meluas dan tidak fokus. Apalagi dalam tindak pidana susila, juga menitikberatkan pada kebebasan dan penyimpangan seks.
Khusus untuk rancangan UU ini, lanjut Willy, DPR hanya mau fokus tentang kekerasan, karena sejatinya kekerasan hanya step domain. Tidak boleh dalam sebuah negara hukum, kekerasan itu dimiliki, dikuasai dan dipegang oleh kelompok diluar negara itulah domain state.
“Jadi seksualitas tidak kita atur sebenarnya. Kenapa?, Seksualitas itu adalah ekpresi yang paling optimal dari hak private. Jadi memisahkan mana yang namanya res publica dengan res private. Yang mau kita atur adalah res publica atau ruang publiknya,” jelas Willy.
Sedangkan Ketua Kaukus Perempuan DPR Diah Pitaloka menuturkan, RUU TPKS ini merupakan agenda substansi dari emansipasi dan demokrasi yang tidak boleh surut diperjuangkan oleh DPR. Apalagi, dengan masih kuatnya kultur patriaki yang ada dalam tatanan masyarakat Indonesia.
Diah menyebutkan bahwa RUU TPKS identik dengan perempuan. Korban kekerasan seksual ini 90% perempuan dan ini tentu berkorelasi dengan semangat dari affirmative action, yang memperjuangkan ruang politik bagi perempuan, termasuk juga di lembaga legislatif memperjuangkan nasib kaum perempuan.
“Jadi satu yang harus jadi catatan menurut saya dalam ruang demokrasi kita, emansipasi itu adalah agenda substansi dari demokrasi dan diskriminasi. Saya rasa emansipasi, diskriminasi itu narasi yang gak boleh surut, harus tetap hidup dari perjuangan di dalam gedung DPR/ MPR ini,” kata politisi PDIP itu.
Sumber : harianhaluan.com