Posted on / by Willy Aditya / in Berita

Draf RUU Pemilu: Pilkada 2022 dan 2023 Tetap Ada, Memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah

Draf revisi undang-undang (RUU) pemilu dan pilkada mengatur jadwal pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak selanjutnya, yakni pada tahun 2022 dan 2023. Draf ini memisahkan antara Pemilihan Nasional dan Pemilihan Daerah.

Pemilihan Nasional terdiri dari Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif (DPD, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota). Sedangkan Pemilihan Daerah, terdiri dari pemilihan gubernur-wakil gubernur, wali kota-wakil wali kota dan bupati-wakil bupati.

Hal tersebut berbeda dengan ketentuan di UU sebelumnya. Yang mana, pilkada serentak di seluruh provinsi, kabupaten dan kota digelar bersamaan dengan pemilihan anggota DPR, DPRD, DPD dan presiden di 2024.

Dalam draf revisi tersebut, Pilkada 2022 akan diikuti oleh daerah yang menggelar pilkada pada 2017. Sedangkan daerah yang melaksanakan Pilkada 2018, akan menggelar pemilihan pada 2023. Daerah yang baru melaksanakan Pilkada 2020, baru akan menggelar pemilihan pada 2027 mendatang.

Bagi kepala daerah yang selesai masa jabatannya sebelum 2027, maka Kemendagri akan mengangkat penjabat kepala daerah dengan masa jabatan hingga 2027. Lalu diganti dengan kepala daerah hasil Pemilu Daerah 2027.

Draf tersebut juga menjelaskan, bahwa Pilkada 2027 disebut dengan Pemilu Daerah. Seluruh kabupaten, kota, maupun provinsi, menggelar pemilihan kepala daerah serentak di tahun tersebut.

Pasal 734 Ayat (1) menjelaskan, Pemilu Daerah pertama diselenggarakan pada tahun 2027 dan untuk selanjutnya diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Dengan kata lain, pemilihan kepala daerah di 34 provinsi, 98 kota dan 416 kabupaten dilaksanakan di waktu yang bersamaan.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi NasDem, Willy Aditya mengungkapkan, bahwa penggabungan antara Pemilu Nasional dengan Pemilu Daerah tak bisa serentak dalam setahun. Sebab, mempertimbangkan banyak hal. Termasuk, pemilih dan penyelenggara.

“Ada tiga aspek pemilihan: peserta, pemilih, penyelenggara. Tidak mungkin, hanya satu aspek saja,” kata Willy dikutip dari laman resmi NasDem, Sabtu (23/1/2021).

Hal ini mendapat dukungan partai di Jawa Timur. Wakil Ketua Bidang Media & Komunikasi Publik DPW NasDem Jatim, Vinsensius Awey pun menjelaskan pentingnya pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah.

“NasDem memang memberikan usulan agar pilkada nasional dan daerah tak dilakukan serentak di tahun yang sama. Banyak pertimbangannya,” kata Awey di Surabaya, Sabtu (23/1/2021).

Sejumlah masalah yang dikhawatirkan bila Pemilihan Nasional dan Daerah digabungkan. Di antaranya: beban kerja penyelenggara semakin besar, hingga pengelolaan isu kampanye yang akan tumpang-tindih.

Sehingga menyebabkan pemilih kurang tertarik mengikuti isu pilkada dan kualitas Pemilihan daerah menurun.

“Kami setuju Pemilihan Daerah dilakukan serentak se-Indonesia, namun tidak bersamaan dengan Pemilihan Presiden,” katanya.

Awey pun cukup optimistis, sekali pun pilkada dilakukan tak bersamaan, tak akan menumbuhkan bibit perselisihan jangka panjang antar pendukung di akar rumput. Meskipun Pemilihan Presiden dan kepala daerah dilakukan di dua waktu yang berbeda dengan jeda waktu cukup panjang. Sebab, masyarakat diyakini cukup dewasa dalam berpolitik.

“Orang yang dewasa dalam berpolitik, akan legowo dalam menghadapi hasil kontestasi,” kata mantan Anggota DPRD Surabaya ini.

“Yang kalah, harus menerima hasil. Yang menang bisa menjadi kepala daerah untuk semua pihak,” imbuh Awey.

Ia melanjutkan, dalam proses demokrasi, evaluasi pemerintahan menjadi hal yang wajar. Setiap harapan atau pun kritik terhadap pemerintahan terpilih sebaiknya tidak dilihat sebagai bentuk kekecewaan atas kekalahan lawan di pilkada.

“Justru, dengan adanya masukan menunjukkan keterlibatan masyarakat. Inilah proses pendewasaan demokrasi, bukan perpecahan,” katanya.

Sumber : tribunnews.com

Tinggalkan Balasan