Posted on / by Willy Aditya / in Opini

Guru Jadi Presiden

Oleh Willy Aditya*

“Berapa jumlah guru yang tersisa?” Tanya Kaisar Hirohito kepada para jenderalnya setelah bom atom meluluhlantakkan Nagasaki dan Hiroshima pada 6 dan 9 Agustus 1942. Bukan jumlah senjata, jumlah pasukan, atau jumlah sisa kas negara yang ditanyakan Kaisar Hirohito, tetapi guru. Sejarah kemudian mencatat langkah Kaisar Hirohito itulah yang membawa Jepang tidak hanya bangkit dari kehancuran tetapi bahkan menjadikannya salah satu negara kampiun di dunia.

Masyarakat Jepang dikenal sangat menghargai guru. Penghargaan tersebut terlihat dari sebuah semboyan Jepang yang berbunyi “she no on way ama yori mo takai, umi yori ma fukai”. “Jasa guru lebih tinggi dari gunung yang tinggi, lebih dalam dari laut yang dalam”. Sejarah guru bagi masyarakat Jepang adalah sejarah pengabdian. Sejak masa Restorasi Meiji (1852-1912), para Samurai di masa damai mengabdikan dirinya menjadi guru. Mereka menginginkan Jepang yang modern dan beradab.

Kepemimpinan guru

Tanpa mengurangi peran tokoh-tokoh lain, setidaknya ada tiga sosok penting dalam dunia pendidikan dan perjuangan kita: Willem Iskander (1840-1876), Ki Hajar Dewantara (1889-1959) dan M. Engku Sjafei (1893-1969). Ketiganya telah memberi teladan tentang peran penting guru yang tidak hanya terbatas di ruang-ruang kelas atau pendidikan pengajaran, akan tetapi juga dalam upaya mengangkat harkat dan martabat manusia. Menurut Willem Iskander, guru semacam inilah yang membawa suluh pada gelap, membawa tongkat pada tempat yang licin. Guru menjadi pembawa terang bagi pengetahuan dan kesadaran tentang kemerdekaan, terbebas dari penjajahan sebagai hak asasi (Sularto, 2016).

Guru menjadi kekuatan penting yang mendorong kehendak untuk merdeka, mewujud. Mereka berjuang melalui pendidikan. Merekalah guru yang menjadi pejuang sekaligus guru bagi para pejuang. Misalnya, Bung Karno. Ketika berada di pembuangan Bengkulu dia pernah diminta oleh Hassan Din, Ketua Muhammadiyah Bengkulu, untuk mengajar. Bung Karno menyambut, “Kuanggap permintaan ini sebagai suatu kehormatan”. Permintaan itu diikuti dengan syarat “..tapi jangan bicara politik”. Bung Karno pun menjawab: “Pasti tidak. Kecuali hanya akan kusebut bahwa Nabi Muhammad selalu mengajarkan kecintaan terhadap Tanah Air”.

Seperti kita tahu, di bawah kepemimpinannya, Indonesia menjadi negara yang ditakuti sekaligus disegani dunia. Tak kurang negara adidaya kala itu, baik Rusia (Uni Soviet), Amerika, hingga China, menaruh segan yang begitu tinggi. Kepemimpinannya melampaui benua Asia dan Afrika. Pemikirannya mengakar jauh ke dalam kearifan lokal bangsa hingga menjulangkan Pancasila ke pentas dunia. Di bawah kepemimpinan Bung Karno, Indonesia memang tidak mulus melangkah. Namun di bawah kepemimpinannya, harkat dan martabat bangsa ini senantiasa terjaga hingga kita pun bisa berkata, “Ini dadaku, mana dadamu?!”

Di bawah kepemimpinan Mahmoud Ahmadinejad, Iran juga tidak semarak dengan ragam capaian pembangunan bercorak fisik dan ragawi. Namun di bawah kepemimpinannya, Iran meneguhkan jati dirinya sebagai bangsa yang punya harga diri dan kehormatan. Saat menyampaikan pidato pengukuhannya sebagai orang nomor satu di negeri para Mulah itu, dia hanya menyatakan akan menciptakan pemerintahan yang antikorupsi sekaligus membuat kebijakan yang adil bagi seluruh rakyat, serta membangkitkan kembali ekonomi negara. Dia juga menyatakan ingin memasifkan pengembangan teknologi nuklir untuk tujuan damai, dan menyerukan agar senjata pemusnah massal yang dimiliki negara adikuasa dibongkar. Dalam perjalanannya, bersama Hugo Chavez di Venezuela dan Castro di Cuba, diakui atau tidak, gaya kepemimpinannya telah membangun keseimbangan geopolitik. Sebelum menjadi gubernur, walikota, dan selanjutnya Presiden Iran, Ahmadinejad adalah pengajar di Universitas Sains dan Teknologi Iran (IUST).

Di masa pemerintahan Mark Rutte saat ini, Belanda akhirnya menyampaikan permintaan maaf sekaligus mengakui Kemerdekaan Indonesia 1945. Di masa pemerintahannya pula, Belanda menyampaikan permintaan maafnya atas keterlibatan mereka dalam perbudakan di Tanah Air selama 250 tahun. “Selama berabad-abad di bawah otoritas negara Belanda, martabat manusia dilanggar dengan cara yang paling mengerikan,” demikian dikatakan Rutte seperti dikutip banyak media saat berpidato di Arsip Nasional negara itu di Den Haag. Ini bukan kabar yang sempurna memang. Namun setidaknya, di bawah kepemimpinan Rutte, Belanda mengambil langkah yang bernilai bagi nama dan martabat Indonesia.

Siapakah Rutte? Dialah Perdana Menteri Belanda ke-42 yang telah menjabat sejak Oktober 2011 lalu. Hingga kini, dia masih menyisihkan waktu untuk menjadi guru tamu di sekolah milik yayasan Johan de Witt di Den Hague, mengajar bahasa Belanda dan ilmu sosial.

Nilai kepanditaan

Siapakah guru? Secara etimologi, kata guru berasal dari dua kata, “gu” dan “ru”. Gu berarti kegelapan (ingat kata ’gua’), dan ru berarti pemusnah atau penyingkir. Maka guru bermakna pemusnah kegelapan, pembawa terang. Guru adalah penerang yang memungkinkan orang lain melihat kenyataan dengan lebih baik.

Guru bukan sekadar pengajar, dosen, mentor, atau pendidik. Lebih dari itu, guru adalah entitas yang lekat dengan dimensi spiritual. Guru bukan sekadar mengajarkan jalan-jalan yang bisa ditempuh agar manusia menjadi lebih baik, melainkan juga jalan-jalan rohani agar manusia mampu memahami siapa dirinya, dari mana asal-usulnya, dan ke mana hidup manusia akan menuju (Doni Koesoema, 2022).

Guru adalah sosok yang memiliki fokus perhatian pada nilai. Guru adalah kaum brahmana atau pandita yang peduli dan mengajak manusia pada nilai. Pandita adalah mereka yang berkutat dengan pekerjaan berkenaan dengan ilmu, kebenaran, sampai nilai-nilai transendental untuk merohanikan yang material. Mereka memberikan makna batin dari wujud fisik yang mengelilingi kehidupan manusia. Pandita hidup dengan alur pikir dari kepala ke atas sampai menembus langit (Ubaidillah & Anuraga, 2022).

Ketika nilai/spirit kepanditaan akan dimanifetasikan dalam kehidupan di bumi, ia hanya bisa diemban oleh manusia dengan kualitas kesatria (satria). Sebab satria adalah mereka yang hidup dengan berpatokan pada dada yang menjembatani kepala dan perut. Satria berulang-alik memahami dua spektrum fisik-batin yang berbeda dan memandang keduanya sama-sama penting untuk diwujudkan. Kehidupan fisik membutuhkan materi untuk mengejar yang batin. Keduanya signifikan bagi manusia (ibid).

Hari ini, Indonesia tengah berada di zaman yang serba terbalik. Urusan yang semestinya berada di tangan kaum satria diperlakukan oleh manusia kualitas sudra. Siapakah sudra? Sudra bukanlah mereka yang tak berpunya belaka. Sudra bisa sangat kaya raya dan menguasai hampir separuh aset negeri ini. Sudra adalah mereka yang orientasi berpikirnya dikuasai perhitungan untung-rugi dalam setiap urusannya. Dalam ungkapan lain, kaum ini senantiasa berpikir dalam batas perut ke bawah.

Indonesia hari ini adalah Indonesia tengah di-drive oleh nilai-nilai kesudraan. Hampir semua urusan, hampir setiap hal, berujung pada soal materi dan hasrat mencari selisih. Tak peduli harga diri dan martabat ternodai, asal turut kebagian maka apapun jadi. Urusan kesejahteraan umum, soal keadilan sosial, semua diukur logika materi. Seolah manusia sekadar makhluk wadag dan bukan makhluk ruhani. Termasuk ukuran kepemimpinan, semua serba dikuantifikasi. Keberhasilan diukur hanya dengan opini seolah tak ada yang bisa mengevaluasi.

Maka jangan heran jika kini yang privat malah dipublikasikan; yang publik marak diprivatisasi. Para satrianya dipinggirkan oleh kaum sudra. Sudra pun menguasai politik negara. Maka lakon “Petruk dadi Ratu” pun mewujud dalam perikehidupan politik kenegaraan kita.

Bung Karno, Ahmadinejad, serta Mark Rutter bukan sekadar guru dalam profesi. Mereka juga guru yang berjati diri kepanditaan. Maka ketika mereka memegang tampuk kepemimpinan, mereka pun menjadi kesatria. Mereka jauh dari kesudraan. Di akhir hayatnya, Bung Karno dan keluarga tak memiliki tempat tinggal. Ahmadinejad dikenal sebagai pemimpin yang teramat sederhana hingga begitu sering tampil dengan jas bolongnya. Dan Mark Rutter, dia kerap bersepeda ontel untuk bekerja dan berangkat mengajar.

Sudah saatnya nilai kekesatriaan memimpin kembali kehidupan republik ini. Sudah saatnya pemimpin dengan kapasitas pinandito hadir bagi negeri ini. Pemimpin yang berani dan ringan menekan nafsu keduniaan di dalam dirinya. Pemimpin dengan kualitas, meminjam istilah Ubaidillah dan Anuraga, satria pinandhita sinisihan, yakni seorang pemimpin yang sudah mencapai rumangsa melu handarbeni (rasa kepemilikan komunal) dan telah meninggalkan rumangsa melu handuweni (rasa kepemilikan individu).

Dan semua itu ada dalam sosok guru. Tahun 2024 mendatang, semoga guru jadi presiden.

*Politisi Partai NasDem

Silahkan Download Tulisan Ini Disini.

Tinggalkan Balasan