Posted on / by Willy Aditya / in Opini

Imaji Indonesia Raya Bersama Anies Baswedan

KETIKA Ben Anderson menulis Imagined Community, dia menolak bahwa nasionalisme ialah patologi yang kerap melahirkan ketakutan dan kebencian. Menurutnya, nasionalisme justru menginspirasi cinta dan sarat pengorbanan diri. Membayangkan nasionalisme Indonesia ialah rasa bangga yang penuh dengan cinta sebagai bagian utuh dari Indonesia. Di sanalah lahir secara voluntaris pengorbanan diri. Menjadi Indonesia ialah imajinasi tiada henti dari proses tumbuh berkembang, dengan landasan saling menyokong: semua setara sebagai anak bangsa.

 

Sulur mewangi

Suatu ketika seorang sahabat lama yang baru tiba di Jakarta mengajak keluar untuk sekadar menikmati secangkir kopi. Kopi memang selalu menjadi teman istimewa untuk berbincang dan beranjangsana. Obrolan ke sana ke mari menjadi diskusi, dari romantisme hingga heroisme. Tak ketinggalan, cerita-cerita sederhana tentang kehidupan. Diskusi yang tiada berujung dan tanpa pretensi. Namun, dari yang sambil lalu itu selalu ada yang patut disimpan sebagai bahan refleksi.

Salah satunya ialah tentang ungkapan Jawa sulur mewangi. Ungkapan yang sangat tidak akrab dalam pemahaman penulis sebagai orang Minang-Batak. Butuh waktu untuk mencerna dan memahaminya, bahkan setelah berulang kali coba dijelaskan olehnya. Namun, ada yang setidaknya bisa terpahami: bahwa sebuah jalinan persahabatan haruslah menyediakan ruang untuk saling membantu atau saling mendukung, apa pun kondisinya. Sebagai sahabat, kita tidak patut merendahkan apalagi saling menghancurkan, meski kita tengah berbeda jalan dan haluan. Bersimpang jalan ialah hal lumrah. Berpisahlah, dalam keyakinan untuk berjuang di medan yang berbeda, tetapi dengan tujuan serupa.

Ungkapan tersebut pada gilirannya membawa kita pada pemahaman bahwa pilihan-pilihan politik juga harus dihitung dalam koridor proximity. Apakah pilihan-pilihan yang kita ambil akan lebih mudah dijalankan? Atau paling tidak, jika pilihan kita keliru, apakah kita dapat mendorong perbaikan-perbaikan atasnya? Kesetiaan sungai ialah terus mengalir menuju laut. Di sanalah, seharusnya kita membuat perjumpaan yang tidak hanya dalam kepentingan-kepentingan politik sesaat. Lebih dari itu, kesepakatan atas ikhtiar demi sesuatu yang lebih baik bagi bangsa, itulah yang seyogianya ada.

Kesadaran semacam itulah yang kemudian membawa NasDem pada sebuah rationale atas pilihan tentang siapa figur yang patut diajukan sebagai capres pada 2024 nanti. Pilihan yang tidak mudah karena Rakernas Partai NasDem 17 Juni 2022 menetapkan tiga putra terbaik bangsa. Semuanya baik dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Sayangnya, presiden hanya satu orang. Pilihan tetap harus dijatuhkan.

Terlebih, Indonesia kini tengah dihadapkan pada persoalan global yang semakin kompleks. Resesi yang tengah melanda dunia, geopolitik yang terus berdialektika, hingga perang Rusia-Ukraina yang masih terus berlangsung. Semuanya berkelindan saling pengaruh-memengaruhi. Semuanya menjadi tantangan dan ujian seberapa mampu kita menghadapinya. Tidak ada pilihan yang mudah. Namun, tidak ada opsi juga untuk hanya berdiam diri. Eksistensi negara-bangsa ini harus terus dinaikkan levelnya lewat peran-peran yang semakin signifikan, sambil terus mengimajinasikan tentang Indonesia di masa depan.

Dalam skala nasional, kita juga masih berhadapan dengan persoalan-persoalan yang tidak hanya berkisar pada pengelolaan sumber daya. Namun juga, terkait dengan amanah menjaga persatuan nasional. Ini memang tidak menggembirakan. Namun, ini juga bukan buah simalakama karena kita bisa mengelola keduanya secara paralel untuk saling memberi kemanfaatan. Tantangan nasional ialah fitur yang bisa membentuk imajinasi bangsa macam apa yang hendak kita wariskan pada generasi mendatang. Tentu, kita tidak hendak mewariskan bangsa yang gagal dalam mengelola cara berpikirnya: sebuah sikap lemah yang berpadu dengan sikap bergantung pada pilihan-pilihan pendek, untuk menguras sumber daya demi kepentingan segelintir orang saja.

Sudah saatnya kita kembali pada kemampuan mengelola nalar layaknya manusia dewasa. Pilihan macam apa yang harus diperjuangkan hingga kita sampai pada adagium “hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan”. Semangat yang tidak perlu diada-adakan karena ia telah ada sejak bangsa ini memproklamasikan dirinya “atas nama bangsa Indonesia”. Kemenangan tidak selalu harus dibayangkan dalam sebuah kemenangan posisi. Lebih dari itu, kemenangan gagasan-gagasan kebangsaan ialah capaian yang akan lebih bermakna bagi setiap perjuangan.

Hal demikianlah yang mengantarkan kami pada sepercik imajinasi tentang figur seperti apa yang layak diajak bergandengan tangan, guna terus berjuang bersama melakukan perubahan. Muncullah kemudian nama Anies Rasyid Baswedan. Dia bukan saja pembaca Manifesto Ormas Nasional Demokrat pada 1 Februari 2010. Dia juga satu korps dengan sejumlah pengurus partai dalam sejumlah almamater. Selebihnya, dia dikenal sebagai intelektual sekaligus politikus. Sebuah perpaduan yang jarang terjadi: intelektual dan politik. Tidakkah ini senapas dengan deskripsi Antonio Gramsci tentang intelektual organik?

Tentu saja, kita harus memberikan bayangan yang lebih adil terkait dengan frasa ini. Ia biasa dipahami sebagai sikap teguh akan satunya intelektualitas dalam kehidupan politik seseorang. Bukanlah hal yang mudah untuk memadukan keduanya. Selalu ada reduksi atas nalar intelektualitas ketika tengah berada dalam realitas politik. Selalu akan ada kelambanan sikap atau keputusan politik yang disebabkan pertimbangan-pertimbangan keilmuan. Keduanya, juga kerap membentuk etos baru yang tak lazim.

Dalam kehidupan politik, kekuasaan sering memberikan pilihan-pilihan yang jauh dari duga rasio kita. Kenyataan dalam ingar-bingar politik, acapkali membuat kemampuan keilmuan lebih sering ditinggalkan. Entah apa yang dirasakan seorang intelektual yang berpolitik seperti Anies ini. Adakah bayangan ideal tentang perlunya kejumbuhan kepakaran dan keberpihakan?

Mungkin, banyak hal yang membuat sebagian dari kita berbeda pandangan atau pendapat dengan sosok Anies. Namun demikian, perbedaan ternyata lebih sering terjadi karena nihilnya dialog di antara kita. Padahal, bukankah kita harus membiasakan diri dengan hal-hal yang (kita anggap) berbeda? Tepat dalam kasus semacam inilah keutamaan sikap (virtue) seorang Surya Paloh kerap muncul. Dia bisa dan bersedia bertemu dan berkomunikasi dengan kelompok mana pun, dengan partai mana pun. Dia bersedia untuk bertukar pikiran dan cara pandang. Perspektifnya luas dan merepresentasikan politik yang dewasa.

Saat populisme yang dipicu politik identitas menyeruak pada 2017, beliau tidak menyerukan perlawanan terhadap hal tersebut. Yang disuarakannya, yang digelorakannya ialah semangat persatuan karena musuh kita bersama ialah kemiskinan, kemunduran, dan kebodohan. Ini karena dia tahu bahwa persoalan utamanya bukan di situ. Jika demi persatuan dia harus mengambil langkah tak populer, ringan saja jalan itu akan diambilnya. Inilah mengapa beliau kerap mengambil langkah yang tiba-tiba dan tak terduga, hingga membuat terkejut baik kawan maupun lawan. Termasuk, dalam konteks penyegeraan deklarasi calon presiden kemarin.

Ini bukan soal terkikisnya keteguhan hati atau prinsip. Namun, lebih pada bagaimana memberi jalan bagi bertemunya perbedaan demi mengalir menuju muara yang sama. Keterbukaan tentu menjadi semangat penting dalam ikhtiar semacam ini, dan membangun dialog dengan keterbukaan diri hanya bisa dilakukan jika ada sikap saling percaya, yang di dalamnya mensyaratkan proximity. Di sinilah kemudian penulis menjadi paham benar dengan sulur mewangi. Jika sahabat kita –yang kita tahu kurang lebihnya— hendak mekar mewangi, mengapa kita tidak mendukungnya?

Penutup

Penentuan pilihan ini barulah langkah awal. Perjalanan masih panjang dan banyak hal harus dipersiapkan. Ada tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa bekal perjalanan akan cukup dan harapan-harapan yang diperjuangkan bersama mendapat porsi yang layak. Sebagai sebuah intiha, saya kutip pesan Agus Salim kepada AR Baswedan, pahlawan nasional sekaligus kakek dari Anies Baswedan: “Baswedan, bagi saya tidaklah penting apakah saudara sampai Tanah Air atau tidak, yang penting dokumen-dokumen ini harus sampai ke Indonesia dengan selamat.” Sejarah kemudian mencatat bukan hanya dokumen pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Mesir yang selamat sampai di Tanah Air, pun demikian dengan AR Baswedan. Begitulah harapan yang akan kami perjuangkan bersama Anies Baswedan: meneruskan imaji Indonesia Raya.

Selamat sejahtera Ibu Pertiwi, selamat sejahtera anak negeri.

Tulisan ini dimuat di: MediaIndonesia

Tinggalkan Balasan