Posted on / by / in Opini

Ironi Solidaritas Virtual

Aktivitas dunia maya sudah menjadi bagian hidup dari generasi milenium saat ini. Seandainya Tuhan punya akun, ID atau PIN, mungkin orang lebih suka beribadah secara virtual atau berdoa via chatting.

Tak bisa dibantah, perkembangan teknologi telah menciptakan bentuk kesadaran dan tradisi baru bagi masyarakat yang tidak kita jumpai pada masa dua puluh atau tiga puluh tahun silam. Marx Weber (1864-1920), menggambarkan kesadaran manusia modern yang ditandai menguatnya rasionalitas instrumental, yaitu daya nalar yang merinci kesesuaian antara tindakan dan hasil. Manusia modern dituntut membuat instrumen untuk mewujudkan hasil, sekaligus menyusun ukuran-ukurannya.

Herbert Marcuse (1898-1979) mengulas rasionalitas modern yang berujung pada keterasingan manusia oleh totalitas ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi satu-satunya spektrum pemudah yang dipercaya. Berbagai mega proyek teknologi dilakukan agar manusia lebih cepat berjalan, lebih sering berkomunikasi dan lebih masif berinteraksi.

Dalam dua puluh tahun terakhir, perkembangan signifikan terjadi pada masifnya New Media yang biasa digambarkan sebagai revolusi teknologi komunikasi. New Media, yang dikenal sebagai internet, telah menjadi bagian dari kehidupan saat ini serta menciptakan lingkungan dan tradisi baru yang biasa disebut dunia maya. Tanpa sengaja, kesadaran kita pun dipengaruhi oleh lingkungan maya tersebut.

Tradisi Virtual

Serangkaian aktifitas manusia telah bergeser dalam satu teknologi bernama internet yang hanya membutuhkan satu perangkat komputer. Bahkan, teknologi internet sekarang bisa dijalankan dengan instrumen yang lebih praktis, yaitu telepon seluler atau HP yang mudah dibawa ke mana-mana.Salah satu situs internet paling mencolok saat ini yaitu jejaring sosial.

Di Indonesia, dua produk paling menonjol yaitu Facecbook dan Twitter yang digunakan oleh jutaan orang. Dengan jejaring sosial ini, seseorang dapat menduplikasi dirinya dalam suatu akun. Suatu identitas virtual yang bisa menyertakan berbagai identitas personal, mulai umur, pendidikan, pekerjaan hobi, disertai tampilan visual berupa foto maupun video. Akun tersebut memungkinkan penggunanya tetap terhubung satu sama lain.

Akun itu yang menjadi aktor virtual dalam pergaulan dunia maya. Memungkinkan terjadinya interaksi dan komunikasi secara personal maupun melalui kelompok. Tak urung, berbagai komunitas virtual atau komunitas maya muncul dalam fenomena ini.
Mulai dari komunitas hobi, profesi sampai komunitas politik.

Dalam berbagai interaksi itulah terjadi pengentalan relasi antara satu individu dengan individu lain yang terlibat dalam komunitas virtual. Dalam Facebook kita bisa menemukan para pengguna akun yang saling bertukar informasi seputar hobi belanja, film, sampai pada isu dukung-mendukung. Pada wilayah dukung mendukung itu, bisa diamati jalinan solidaritas dalam dunia virtual.

Dua tahun terakhir terdapat dua kasus fenomenal mewarnai dunia maya Indonesia, yaitu kasus ketua KPK Bibit-Chandra dan Prita Mulyasari. Dalam dua kasus itu, jutaan masyarakat pengguna Facebook bersolidaritas memberi dukungan, sehingga mereka terlepas dari jerat hukum yang dianggap sebagai kriminalisasi.

Singkat kata, jejaring sosial tidak hanya menjadi media narsis untuk memajang foto paling menarik atau memamerkan aktivitas di tempat-tempat berkelas, tapi juga menjadi ajang solidaritas untuk suatu isu atau melawan kebijakan yang tidak sesuai rasa keadilan warga. Lebih jauh dapat dikatakan bahwa dunia maya telah menjadi cerminan realitas nyata.

Namun dalam praktiknya, dunia maya tidak hanya mencerminkan atau menduplikasi realitas sosial ke dalam realitas virtual, tapi juga membentuk suatu pola tersendiri yang menjadi bagian dari realitas sosial dan pada akhirnya mempengaruhi realitas sosial itu sendiri. Dalam kasus Prita dan Bibit – Chandra terlihat bagaimana hiruk – pikuk penegakan hukum ditransfer ke dalam dunia maya, kemudian kembali ke dunia nyata dan mempengaruhi keputusan yang diambil, sehingga mereka dibebaskan. Kasus tersebut juga menunjukkan bahwa masyarakat masih memiliki empati, solidaritas dan pandangan nilai keadilan.

Namun, untuk memahami korelasi antar dunia tersebut kita perlu melihat lebih komprehensif dan tidak berhenti pada satu kasus pendek. Dalam dua kasus di atas, tidak berlebihan kalau kita bertanya, di mana puluhan ribu pendukung Prita atau sejuta lebih pendukung Bibit-Chandra itu sekarang? Apa saja yang mereka lakukan setelah kasus itu mereda? Bagaimana kabar bangunan solidaritas dan perjuangan menuntut keadilan itu sekarang? Apakah para pendukung keadilan melalui dunia maya itu masih lantang menyuarakan tuntutannya? Ataukah mereka sudah lupa pada kasus itu, dan mulai larut mengupdate status-status narsis atau menggalau di Twitter?

Maraknya dukungan terhadap Prita dan Bibit-Chandra terjadi ketika masyarakat Indonesia memang lagi demam Facebook. Segala sesuatu yang ada di realitas sosial ditulis oleh para pengguna Facebook dalam statusnya. Dan waktu, itu, kasus Prita dan Bibit-Chandra memang begitu kental dengan nuansa rekayasa yang cepat memantik respon solidaritas pengguna internet. Kemudahan berinteraksi melalui jaringan sosial, tren Facebook yang sedang menguat serta fenomena ketidakadilan umum yang tersirat membuat isu itu cepat terangkat di dunia maya.

Tapi, terlalu cepat kalau kita menyimpulkan bahwa keberadaan dunia maya telah mendorong penguatan bangunan empati, solidaritas dan rasa keadilan warga. Jika kita sambangi para aktor virtual maupun pemilik akun dalam dua gerakan di atas, mungkin saat ini masing-masing kembali pada kehidupan individualnya. Di dunia nyata, mereka sibuk dengan aktivitas harian, bekerja, sekolah, kuliah dan sebagainya. Di dunia maya, mereka sibuk dengan hobinya masing-masing dan selebihnya saling berbagi narsisme melalui kata-kata mau pun aplikasi gambar yang tersedia.

Yang jelas, saat ini kita masih melihat berbagai diskursus substansial terlewat begitu saja. Kita menyaksikan kontroversi pembangunan gedung DPR, kasus Gayus Tambunan, kasus century, kekerasan beragama, atau terakhir peledakan bom di Cirebon, dan banyak kasus lain. Semua itu terlewat begitu saja dan hanya dikonsumsi kalangan tertentu. Di dunia maya pun, tidak ada gerakan yang mencolok untuk merespon dan mencoba menyelesaikan berbagai persoalan tersebut.

Keterasingan

Solidaritas adalah representasi kesadaran dan tindakan dalam wilayah sosial. Dalam solidaritas terdapat kesadaran tentang keterbatasan sekaligus keterikatan antar manusia. Kesadaran itu mendorong suatu tindakan bersama demi tujuan atau nilai tertentu. Emile Durkheim (1858-1917) mengandaikan bahwa semakin modern masyarakat, bentuk solidaritas akan semakin organik.

Rasionalitas modern mendorong manusia bersikap instrumental, membingkai tindakan dalam rincian-rincian yang terstruktur secara sistematis. Namun, kondisi sebaliknya justru kita saksikan dalam kasus solidaritas dunia maya saat ini yang ternyata bersifat spontan dan sesaat.

Arus zaman ternyata tidak mengalir di atas parit lurus. Pandangan-pandangan linear terhadap sejarah selalu gugur saat menyajikan ramalan masa depan. Kegagalan itu juga dialami Karl Marx (1818-1883) terkait ramalan masyarakat tanpa kelas. Inti semua kegagalan itu terletak pada titik pijak kesadaran manusia. Hampir semua pemikir teleologis menganalisa masa depan berdasar kesadaran manusia pada saat dia meramal. Hal itu fatal, karena setiap masa ternyata menciptakan kesadaran serta bentuk-bentuk tradisi dan tindakan tersendiri.

Pada masa Karl Marx, Weber, maupun Durkheim, belum terpikir adanya Facebook dan Twitter yang sebegitu kuat mempengaruhi kesadaran dan tradisi popular. Solidaritas yang merupakan anak kandung peradaban dan penciptaan alat bernama New Media atau internet.

Oleh karena itu, tak perlu kaget ketika kita menjumpai kesadaran orang mulai bergeser pada kesadaran virtual yang bergantung pada teknologi internet. Kita bisa hitung berapa persen orang pernah memperbarui status berisi keluhan bahkan makian terhadap koneksi yang sedang melambat, meskipun mereka tidak sedang melakukan pekerjaan penting.

Dalam konteks ini, bangunan solidaritas telah bergeser dari dunia nyata menjadi solidaritas dunia maya, atau solidaritas virtual. Solidaritas praktis, spontan, minim resiko dan bersifat sementara. Pada saat bersamaan, dunia maya dan jejaring sosial tersebut juga berhasil mempersempit jarak antar individu yang berjauhan dan menjauhkan individu yang berdekatan. Akhirnya, ironi yang memiris hati terjadi, tatkala muncul peristiwa seorang anak yang terjatuh dari rumah susun saat ibunya sedang asyik chatting.

14 Juni 2011

Tinggalkan Balasan