Posted on / by / in Catatan

Melawan Lupa!

Pa, selamat ulang tahun ya, Alif buat tulisan untuk papa!”

“Apa isinya Lif, bacakan ya!”

“Selamat ulang tahun papaku 36, papa ganteng sekali, Alif dan Dara sayang papa!”

“Papa harus simpan tulisan ini, dan bawa setiap hari ya, pa!”

Anakku, alangkah bahagianya aku mendapatkan kado itu. Sebuah kado yang kau persembahkan melalui percakapan via telpon genggam pagi ini. Biasanya aku yang mulai menuliskan kado ulang tahun untukmu, adikmu, mamamu dan tak lupa juga untuk diriku sendiri. Perang sedang berlangsung anakku, antara Kawarang-Bekasi-Purwakarta, spanduk-spanduk serta suara-suara berguguran. Dan papamu tidak di rumah untuk membakar lilin dan berdoa bersamamu.

Kado itu sudah mentradisi dalam patahan-patahan penting hidup ini. Anakku, kau tahu persis bagaimana membahagiakan papamu ini. Sudah beberapa bulan belakangan ini papamu jarang menulis panjang kecuali beberapa tulisan singkat di twitter yang terputus-putus satu dan lainnya.

Perjalanan ini begitu kaya untuk kuceritakan, dan tulisan adalah medium untuk dibaca ulang secara bersama.

Sejak di asrama dulu Engku Navis mewajibkan untuk menuliskan setiap kejadian yang sudah dilalui setiap hari dalam buku diari. Untuk kita sadar dimana kita berada serta melawan penyakit lupa yang sering didera. Kita lupa akan peristiwa kemarin karena tidak biasa menuliskannya, sehingga melahirkan generasi yang buta akan peta dan sejarah nenek moyang mereka.

Anakku, waktu dan ruang selalu bergerak sebagai keniscayaan, beberapa kejadian di antaranya bisa kita ingat, tapi kebanyakan peristiwa menguap entah kemana. Walau tak tekun, ada beberapa diari yang sempat kutulis. Bahkan diantaranya kutulis bersama dengan mamamu karena ruang memisahkan kami sebagai manusia yang mencinta.

Anakku, kau mengingatkan aku untuk kembali pada tradisi yang sempat terputus. Sama seperti perjalananku ke basis-basis antara Karawang, Bekasi dan Purwakarta bertemu dengan petani, lurah, banjir, kemiskinan, pergaulan begitu indahnya romantika mereka.

Banyak peristiwa yang belum sempat kudokumentasikan sebagai narasi yang bisa kau baca ulang anakku. Aku ingin belajar dari seorang revolusioner bernama Ernesto Geuvara yang selalu menuliskan setiap detail kejadian dalam buku diarinya, anakku. Menulis mengajarkan kita teliti membaca medan dan cuaca sebagai rujukan mencapai kegemilangan, anakku. Bahkan Che juga menulis surat cinta pada anak dan istrinya dari medan pertempuran tentang rasa yang hidup dalam jiwanya.

Keterbatasan ruang dan waktu antara kau dan aku, tidak setiap peristiwa saling kita bagi. Cerita tentang tumbuh kembangmu di sekolah, cerita tentang teman-temanmu di lingkungan rumah, dan masih banyak cerita lainnya.

Anakku, kita harus menanamkan tradisi baru! Sebuah tradisi yang tidak lagi lisan atau dendang tentang mitologi Malin Kundang dan Sampuraga yang didongengkan Nenek dan Opungmu. Tapi tradisi baru dengan narasi yang lahir dari tanganku, tanganmu, yang menuliskan setiap malam tentang peristiwa dan cuaca anakku.

Tulislah, anakku! Tulislah narasi dan puisi tentang matahari, awan, dan hujan anakku. Karena dengan menulis kita mengikis lupa, dengan menulis kita mengingat perbuatan orang-orang pada patahan waktu untuk dibaca sebagai penanda generasi mendatang, karena dengan menulis akan membantu kita membedakan mana yang manusia dan yang serigala!

Menulislah, mari kita susun kata demi kata untuk membangun peradaban yang tak lekang di panas dan tak lapuk di hujan anakku.

12 April 2014

 

Tinggalkan Balasan