Posted on / by / in Catatan

Setelah Perang Berakhir

(Sebuah catatan untuk anakku)

“Perang” itu telah usai, dan pesta kemenangan sukses digelar. Bak seorang raja baru, ia diarak dengan menunggangi kereta kencana melewati ribuan pasang mata yang telah lama menantikannya. Sebuah prosesi yang sangat simbolik. Prosesi menyambut kemenangan.

Layaknya kisah di berbagai roman, perang inipun menyisakan cerita: ada yang menang dan kalah, korban dan tawanan, serta wilayah taklukan dan harta rampasan. Dan pembagian wilayah dan harta rampasan selalu menjadi episode baru pasca perang.

Karena momentum ini dideklarasikan sebagai perang semesta, tentu semua memiliki tafsir, persepsi, dan cerita atas peran dan posisi masing-masing. Dari jendral sampai kopral, tukang masak sampai kurir, hingga mata-mata maupun mereka yang menyebut dirinya ‘relawan’, semua merasa berhak mendapatkan “wilayah taklukan” dan “harta pampasan”.

Tapi ruang dan waktu selalu saja memiliki sekat, sehingga ucapan terima kasih dan tanda-jasapun terasa tak cukup. Apalagi jika yang telah dikorbankan adalah nyawa, darah, dan air mata. Begitu banyak tanya yang tersisa: “Akankah kita kembali pulang ke rumah cukup dengan atribut pahlawan? Atau kembali harus bertempur demi sepetak kamar sempit dan sebuah status baru,   kita tahu antriannya begitu mengular dan lorong pengamanannya begitu berlapis-lapis?”

Sementara Sang Lakon yang telah sah menjadi pemimpin Republik ini baru saja mengumumkan para pembantunya: sebuah prestise yang diidamkan banyak orang sebab ia bukan sembarang pembantu. Mereka adalah penghuni apa yang disebut kamar-kamar kerja. Aku sendiri sebenarnya bersorak bahkan bertepuk tangan, karena di antara mereka ada temanku yang berada di “kesatuan dalam perang selama ini”. Kulihat ia tengah berlari kecil saat namanya dipanggil oleh Sang Lakon di sore yang telah dinantikan itu.

Kebanggaan itu bukan karena kedekatanku secara pribadi, tetapi lebih dari itu, ini adalah sebuah sikap respek dan penghargaan atas perjalanan panjang yang sudah ditempuhnya. Penghargaan atas sikap tegas atas pilihannya dalam hidup, dan dedikasi yang telah dia berikan secara total yang hampir tak ada cacatnya.

Bung Kecil, anakku, cerita itu terjadi di bulan Oktober. Bulan yang sepertinya telah menjadi momentum khusus dalam hitungan kalendermu. Sebab bukan hanya pesta dan air mata yang ada di dalamnya, tapi ada suatu peristiwa yang kembali berulang sebagai penanda. Seperti yang kau sampaikan sebelum tidurmu tadi malam, “Pa, Alif ulang tahun besok, berarti Oktober tahun depan ulang tahun lagi ya?”

 Bung Kecil, sepertinya ulang tahunmu akan selalu didahului oleh peristiwa-peristiwa penting di Republik ini. Aku masih ingat dulu, dua hari sebelum kelahiranmu, tahun 2007, di Alun-alun Utara, Raja Jawa X juga menggelar Pisowanan Ageng sebagai deklarasi politiknya. Dan di tahun ini, ultahmu didahului oleh perang dan drama yang telah menyita perhatian seluruh penduduk negeri, berbulan lamanya. Ini mungkin jawaban atas doaku. Karena dulu aku sempat berharap kau lahir pada tanggal penuh sejarah, 28 Oktober, tapi kita memiliki garis tangan dan kehendak Tuhan yang harus kita terima dan jalani.

Bung Kecil, di bulan penuh sejarah ini, aku menuliskan catatan dari sebuah perang, sebagai kabar yang akan kau jadikan pelajaran untuk masa depan. Seperti yang dilakukan oleh Che saat menjadi komandan perang melanjutkan perjuangan Camilo.

Perang yang baru saja dialami bangsa ini bukanlah perang biasa. Bukan perang seperti perperangan yang pernah dilalui oleh Tuanku Rao atau pangeran Diponegoro. Tidak juga oleh Tan Malaka dan Sudirman, atau Suharto maupun Gus Dur. Ini juga bukan soal panglima berjiwa kesatria atau pecundang. Ini soal hukum perang, soal dalil-dalil perang, serta cara berperang yang mengalami transformasi yang begitu dahsyatnya. Perang ini hanya kutemukan dalam narasi Nagabonar yang bisa menurunkan pangkat seorang mayor jadi sersan mayor. Karena dalam perang ini, jual-beli kedudukan begitu cepatnya sehingga seorang kopral bisa menjadi kolonel dalam sekejap mata.

Tidak penting kau lulusan akademi A atau bukan, pernah mengikuti pelatihan lembaga ternama atau tidak, atau punya pengalaman memimpin pasukan atau tidak. Ini adalah soal penguasaan amunisi dan persenjataan semata-mata. Tak soal kau bisa menembak atau tidak. Tak penting kau berseragam atau berpakaian sekadarnya, yang utama adalah kau pegang senjata, cukup sudah!

Untuk kau ketahui Bung Kecil, dalam setiap perang ada dua dalil pokok yang selalu dikedepankan. Satu, soal atas apa alasan seseorang hadir dan ikut bertempur. Lazimnya orang pergi berperang, tentu ada pegangan yang menjadi dasar dia ikut berperang. Entah itu keyakinan seperti agama, ideologi, atau demi bangsa dan negara. Itulah bendera-bendera besar yang mengibarkan heroisme dan patriotisme bagi mereka yang akan menyabung nyawa di medan laga.

Namun musim berganti, zaman pun berubah. Hari ini orang berperang atas dasar eksistensi diri, nama besar keluarganya, perlindungan kepentingan korporasinya, atau karena ia kelebihan amunisi dan persenjataan miliknya. Perang hari ini kembali ke wajah paling primitifnya: sebagai episode sejarah pertikaian antar klan yang bar-bar dan brutal. Politik, yang menjadi ruangnya, yang mestinya menjadi puncak civilization, runtuh luluh-lantak karena hanya kekuasaan yang mereka tandai sebagai proses ataupun puncak hasil dari perperangan.

Dua, soal bagaimana seseorang bertempur (membunuh) di medan perang. Karena yang kau bunuh bukan kecoak, babi, atau lawan dalam game play station, tapi manusia. Manusia yang punya sejarah, peradaban, dan utusan Tuhan di muka bumi. Ada tata aturan, adab, code of conduct, yang mesti dipegang. Ini yang membedakan kita dengan makhluk-makhluk lainnya. Namun soalnya, justru inilah yang telah terkikis dalam adab “perang” yang dilakukan oleh manusia.

Bung Kecil, saat kutulis catatan ini kau telah berusia tujuh tahun. Walau kau sudah bisa berperang layaknya Camen Rider atau super hero lain yang jadi idolamu, tapi itu baru sekadar permainan. Bila saatnya tiba, aku harap kau belajar pada nilai yang berlaku di tengah bangsa ini. Seperti tradisi orang Bugis yang menggunakan tiga ujung dalam medan peperangannya, yakni ujung lidah, ujung badik, serta ujung kelaki-lakianmu. Tentu, nilai ini harus kau pelajari lebih lanjut agar tercerna benar apa maknanya. Mendapatkan makna, itulah adab kita di bumi dan yang menjadi pembeda kita dengan binatang.

Selamat ulang tahun Bung Alif Camilo Adiwijaya!

Jakarta, 30 Oktober 2014 

Tinggalkan Balasan