Posted on / by Willy Aditya / in Berita

Pemerintah Diminta Tak Terprovokasi Tiongkok

Anggota Komisi I DPR Willy Aditya menilai kapal penjaga pantai Tiongkok mengawal nelayannya masuk wilayah laut Indonesia adalah upaya provokasi. Pemerintah diminta tak mudah terhasut.

“Pemerintah tidak boleh terprovokasi. Kita harus hati-hati melihat situasi yang berkembang di Natuna,” kata Willy di Jakarta, Sabtu, 4 Januari 2020.

Willy menuturkan hukum laut internasional tidak memberi celah terjadinya konflik yang mengeras dan berujung perang. Willy menilai Tiongkok tahu betul dan cukup cerdik membaca situasi yang ada serta kekuatan yang dimilikinya.

“Semua negara pasti bersepakat untuk menghindari perang, karenanya akan mendorong penyelesaian melalui mekanisme negosiasi. Tiongkok punya pengaruh yang cukup untuk digunakan ‘memaksa’ Indonesia,” ujarnya.

Willy mengingatkan tahun depan akan ada persiapan periodic review Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Ini bisa menjadi celah bagi Tiongkok memasukkan isu-isu kelautannya.

Willy menerangkan, dalam catatan ratifikasi UNCLOS 2006 Tiongkok tidak memilih International Court of Justics (ICJ), International Tribunal, International Arbitral Tribunal maupun Special Arbitral Tribunal sebagai upaya penyelesaian sengketa wilayah laut dengan negara lain. Tiongkok memilih menggunakan perangkat yang disediakan pasal 298 (Paragraf 1, a, b dan c) UNCLOS, yang pada intinya menunjuk juru damai dan langsung berhubungan dengan negara bersengketa.

“Itulah kenapa Tiongkok tidak mengakui putusan arbitrase sengketa Tiongkok dengan Filipina,” ungkapnya.

Legislator NasDem itu menilai Indonesia perlu belajar dari kasus lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan. Singkatnya, Indonesia tak perlu mengikuti provokasi Tiongkok untuk menegosiasikan Natuna.

“Tidak atas dasar ekonomi, investasi atau sejenisnya. Bersamaan dengan itu, kita juga harus menghadirkan negara di Natuna sebagai bukti klaim kita yang telah diakui internasional,” ujarnya.

Willy menambahkan media juga harus mengambil posisi tepat dalam mewacanakan kasus Natuna. Menurutnya, wacana seolah-olah Indonesia harus bernegosiasi dan berunding, apa lagi perang, sangat tidak tepat dalam kondisi saat ini. Media, kata Willy, sebaiknya juga mampu “membantu’ pemerintah untuk membangun narasi kedaulatan Indonesia di Natuna.

“Kita sepakat bahwa Natuna tidak untuk di negosiasi dengan siapa pun, karena sepenuhnya milik Indonesia dan diakui dunia internasional,” ujarnya.

Ia menegaskan Indonesia bisa bersahabat dengan siapa pun. Namun, Indonesia juga bisa tegas terkait kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terhadap negara mana pun.

“Provokasi Tiongkok harus kita tepis bersama dengan juga menguatkan spiral lobi internasional,” pungkasnya.

Penjaga Pantai Tiongkok mengawal beberapa kapal nelayan Negeri Tirai Bambu di Laut Natuna Utara, Kamis, 2 Januari 2020. Pelanggaran tersebut kemudian direspons KRI Tjiptadi-381 dan KRI lainnya, yang mencegat kapal Penjaga Pantai Tiongkok dan menggiringnya keluar dari wilayah Natuna.

Tiongkok mengklaim bahwa perairan sekitar Natuna adalah wilayah tradisional penangkapan ikan mereka. Kementerian Luar Negeri RI telah memprotes klaim tersebut, dengan menegaskan bahwa kedaulatan RI di Natuna memiliki landasan hukum, yakni Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.

Sumber: medcom.id

Tinggalkan Balasan